Mengidentifikasi Penipuan dan Aktivitas Palsu oleh Selebgram di Instagram

Latar Belakang
Perkembangan digital di dunia bisnis telah mengalami perubahan signifikan, terutama dalam era transformasi digital yang semakin diprioritaskan oleh perusahaan. Data dari Workday dan International Data Corporation (IDC) menunjukkan, sebanyak 96% eksekutif perusahaan di Indonesia memfokuskan perhatian mereka pada transformasi digital. Peningkatan jumlah pengguna internet yang kini mencapai 4,95 miliar di seluruh dunia, yang meningkat 192 juta dari tahun sebelumnya, ditandai dengan tren penggunaan internet yang semakin rosak saat pandemi COVID-19. Rata-rata waktu penggunaan internet per hari mencapai 6 jam 58 menit, menegaskan betapa pentingnya keberadaan internet dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam interaksi sosial melalui media sosial seperti Instagram.
Jumlah pengguna Instagram di Indonesia kini telah mencapai 99,15 juta, dan keberadaan influencer atau selebgram di platform ini membawa dampak besar bagi pengikut mereka. Meskipun selebgram dapat menciptakan nilai branding yang kuat dan menarik perhatian, mereka juga rentan terhadap praktik penipuan atau aktivitas yang tidak jujur demi menjaga citra atau popularitas mereka di kalangan pengikut.
Pembahasan
Fenomena hubungan antara influencer dan pengikut menciptakan daya tarik tersendiri bagi pengguna Instagram. Banyak pengguna yang berusaha mengikuti jejak selebgram, terpengaruh oleh gaya hidup yang dipamerkan. Namun, tanpa aturan yang ketat mengenai penggunaan akun palsu di Instagram, banyak selebgram memilih untuk menciptakan akun alternatif dengan identitas yang berbeda, menciptakan kesenjangan antara citra online dan kenyataan. Kebebasan dalam menyajikan diri di media sosial ini seringkali memicu penipuan dan aktivitas tidak jujur, yang berdampak negatif pada pengikut dan merek yang bekerja sama dengan mereka.
Misalnya, selebgram dapat memposting konten yang tampaknya sempurna dan menarik, sementara kenyataannya tidak selalu sesuai. Istilah “fake activity” merujuk pada upaya selebgram untuk menciptakan kesan kehidupan ideal dengan menjual konten yang tidak mencerminkan realitas. Ini tidak hanya berpotensi merugikan pengguna lain, tetapi juga menciptakan tekanan untuk menjalani kehidupan yang tidak realistis.
Salah satu fenomena lain yang memicu aktivitas palsu di Instagram adalah “Like Factor.” Jumlah “likes” yang diterima suatu postingan menjadi indikator utama popularitas seorang selebgram. Banyak influencer berusaha mendapatkan “likes” ini dengan cara yang tidak transparan, termasuk membeli likes atau menggunakan bot. Ini menciptakan skenario di mana pengikut mungkin terjebak dalam penipuan, terpengaruh oleh angka yang tidak akurat dan aktivitas yang dilakukan oleh akun-akun palsu.
Tugas pengguna Instagram adalah untuk menjadi lebih waspada. Tanda-tanda akun palsu, seperti pengikut yang tinggi namun dengan interaksi yang rendah atau konten yang tidak sesuai, perlu diidentifikasi. Studi menunjukkan bahwa hingga 68% pemasar merasa dirugikan oleh keterlibatan influencer yang tidak otentik, yang membuat penting untuk mengkaji kredibilitas selebgram sebelum mengikuti atau membeli produk yang mereka promosikan.
Kesimpulan
Influencer marketing memiliki peran penting dalam pemasaran digital saat ini, memungkinkan selebgram untuk mempromosikan produk secara efektif melalui platform seperti Instagram. Namun, praktik penipuan dan aktivitas palsu di kalangan influencer dapat merusak kepercayaan publik dan mengganggu proses pemasaran yang efektif. Untuk itu, penting bagi pengguna atau pengikut untuk melakukan verifikasi terhadap kredibilitas influencer, memahami potensi penipuan, dan menghindari praktik yang tidak etis dalam mengejar popularitas. Di era digital ini, kesadaran dan kewaspadaan di dunia maya merupakan kunci untuk menciptakan interaksi yang lebih sehat, produktif, dan jujur.