School of Information Systems

Faktor Budaya dalam Strategi E-Bisnis: Studi Kasus Netflix 

Netflix merupakan platform layanan streaming yang menyediakan konten video sesuai permintaan (video-on-demand) secara global. Meskipun sangat populer di berbagai negara, Netflix menghadapi hubungan yang cukup kompleks dengan pasar Indonesia. Salah satu tantangan utama adalah persoalan perpajakan. Netflix belum membayar pajak sejak beroperasi di Indonesia, yang membuatnya menjadi perhatian serius Kementerian Keuangan. Pemerintah beranggapan bahwa praktik ini dapat merugikan ekonomi negara dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah berencana memberlakukan regulasi baru yang mewajibkan perusahaan asing untuk membayar pajak. Jika perusahaan gagal memenuhi kewajiban tersebut, sanksi administratif dan pemutusan akses dapat diberlakukan. 

Masalah lainnya adalah pemblokiran layanan Netflix oleh penyedia layanan internet terbesar di Indonesia, yakni Telkom Indonesia beserta anak perusahaannya seperti IndiHome dan Telkomsel. Akibatnya, Netflix tidak dapat menjangkau basis pelanggan besar dari Telkom. Berdasarkan artikel Tenchinasia, hingga kuartal ketiga 2019, IndiHome memiliki tujuh juta pelanggan dan Telkomsel memiliki sekitar 170 juta pelanggan, di mana 65% di antaranya adalah pengguna data. 

Selain kendala teknis dan hukum, Netflix juga harus menghadapi tantangan budaya. Konten yang mengandung unsur kekerasan atau ketelanjangan sering kali tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia yang memiliki undang-undang antipornografi yang ketat. Pemerintah Indonesia secara aktif menyensor konten yang dianggap melanggar nilai moral dan budaya. 

Untuk berhasil di pasar Indonesia, Netflix harus mampu menyesuaikan strategi bisnisnya dengan memperhatikan faktor budaya lokal. Strategi semata tidak cukup tanpa mempertimbangkan aspek manusia, yaitu budaya kerja dan nilai-nilai sosial masyarakat. Interaksi antara manusia dan pekerjaan merupakan kunci kesuksesan jangka panjang. Perubahan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika budaya organisasi juga mendukung transformasi tersebut. 

Strategi bisnis bukan hanya sekadar rencana, melainkan harus menjadi “rencana untuk menang.” Perusahaan harus mengevaluasi apakah pasar yang dituju layak dan apakah mereka memiliki kapabilitas untuk menaklukkannya. Jika belum, maka kapabilitas tersebut harus dibangun. Namun, keberhasilan implementasi strategi sangat tergantung pada bagaimana organisasi melibatkan tim internal dan memperjelas alasan strategis dari setiap perubahan. 

Dalam konteks bisnis internasional, negosiasi antarbudaya menjadi tantangan tersendiri. Perbedaan budaya dapat menjadi hambatan besar dalam mencapai kesepakatan. Seiring meningkatnya aktivitas global, manajer perusahaan internasional menghabiskan lebih dari 50% waktu mereka untuk bernegosiasi secara lintas budaya. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang budaya lokal menjadi hal yang esensial dalam e-bisnis. 

Selain itu, iklan di berbagai situs web yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan juga menjadi masalah budaya dalam e-commerce. Iklan-iklan tersebut dapat memengaruhi kesadaran moral masyarakat secara bertahap. Perspektif budaya tentang waktu juga berbeda-beda. Dalam beberapa kasus, mitra lokal merasa terganggu oleh mitra asing yang dianggap terlalu terburu-buru. Ini dapat menyebabkan miskomunikasi dan kegagalan dalam kerja sama. 

Terakhir, meskipun kerja jarak jauh semakin umum, banyak karyawan di budaya tertentu masih lebih nyaman bekerja secara tatap muka. Bekerja secara virtual tidak selalu memberikan efektivitas yang sama dengan interaksi langsung, dan dapat menimbulkan rasa keterasingan. 

A.Raharto Condrobimo