School of Information Systems

Bagaimana Low-Code dan No-Code Mengubah Pengembangan Sistem Informasi 

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pengembangan sistem informasi telah mengalami transformasi besar berkat kehadiran platform low-code dan no-code. Teknologi ini menawarkan pendekatan baru dalam membangun aplikasi yang tidak lagi bergantung pada penulisan kode yang kompleks. Low-code memungkinkan pengembang menggunakan sedikit kode dan antarmuka visual, sementara no-code memungkinkan pengguna non-teknis-yang sering disebut citizen developers-membangun aplikasi tanpa menulis kode sama sekali. Platform seperti Microsoft Power Apps, OutSystems, dan Mendix mewakili kategori low-code, sedangkan Glide, Adalo, dan Bubble adalah contoh no-code. 

Dampak dari teknologi ini terhadap pengembangan sistem informasi sangat signifikan. Salah satu dampak utama adalah percepatan proses pengembangan aplikasi. Jika sebelumnya pembuatan aplikasi bisa memakan waktu berbulan-bulan, kini dapat dilakukan dalam hitungan minggu bahkan hari. Ini sangat membantu organisasi dalam menyelesaikan proyek transformasi digital lebih cepat dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Selain itu, teknologi ini juga mendorong demokratisasi inovasi, karena memungkinkan staf operasional dan manajer lini depan untuk membangun solusi digital mereka sendiri tanpa harus menunggu dukungan penuh dari tim IT. 

Keuntungan lainnya adalah berkurangnya beban kerja tim IT. Dengan lebih banyak aplikasi internal yang dikembangkan langsung oleh pengguna bisnis, tim IT dapat lebih fokus pada proyek strategis dan sistem inti. Selain itu, banyak platform low-code/no-code yang menyediakan integrasi dengan sistem yang sudah ada, seperti ERP, CRM, dan layanan cloud, membuat pengembangan sistem menjadi lebih fleksibel dan terintegrasi. Dalam konteks UMKM, no-code bahkan menjadi pintu masuk yang ideal untuk membangun aplikasi seperti sistem inventaris, pencatatan kas, atau CRM ringan tanpa biaya besar dan tanpa memerlukan tim teknis. 

Namun, teknologi ini juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah risiko ketergantungan pada platform tertentu (vendor lock-in), yang membuat proses migrasi menjadi sulit jika ingin berpindah ke solusi lain. Selain itu, aplikasi yang dibangun dengan pendekatan ini mungkin memiliki keterbatasan dalam hal kustomisasi atau performa jika dibandingkan dengan aplikasi yang dikembangkan secara tradisional. Tantangan lainnya adalah munculnya praktik shadow IT, di mana aplikasi dikembangkan di luar pengawasan tim IT, yang dapat memicu masalah keamanan, integrasi, dan pengelolaan data. 

Transformasi ini juga berdampak pada peran profesional IT. Mereka tidak lagi hanya berperan sebagai pengembang aplikasi, tetapi juga sebagai arsitek solusi, fasilitator, dan pengarah standar keamanan serta integrasi sistem. Mereka bertanggung jawab memastikan bahwa aplikasi yang dibangun oleh pengguna non-teknis tetap memenuhi standar keamanan, skalabilitas, dan compliance yang dibutuhkan organisasi. 

Secara keseluruhan, kehadiran teknologi low-code dan no-code telah mengubah paradigma pengembangan sistem informasi. Keduanya membuka akses yang lebih luas terhadap inovasi, mempercepat pengembangan solusi bisnis, serta memungkinkan kolaborasi yang lebih erat antara tim teknis dan non-teknis. Meskipun masih menghadapi sejumlah tantangan, pendekatan ini semakin menjadi komponen penting dalam strategi transformasi digital banyak organisasi, baik skala kecil maupun besar. 

Referensi 

  1. Gartner. (2021). Magic Quadrant for Enterprise Low-Code Application Platforms. 
  2. Forrester Research. (2022). The Forrester Wave‚Ñ¢: Low-Code Development Platforms For Professional Developers, Q2 2022. 
  3. Mendix. (2023). The State of Low-Code 2023 Report. 
  4. Microsoft Power Platform Blog. (2023). Empowering Everyone to Build Apps with Power Apps. 
  5. IBM. (2022). What is low-code and no-code development? 
  6. McKinsey & Company. (2021). Developer velocity: The business superpower. 

 

Jarvin