School of Information Systems

Potensi Teknologi Chatbot Sebagai Alat Melawan Kekerasan Seksual di Indonesia

Kekerasan seksual di Indonesia tak henti menjadi wabah. Data Komnas Perempuan mencatat lonjakan kasus hingga 8.924 pada 2022, angka yang mengerikan dan jauh dari kata ideal. Di tengah kepiluan yang terjadi di Indonesia, Mongolia yang menghadapi masalah yang kurang lebih serupa telah mengambil tindakan dengan menggunakan teknologi chatbot yang menawarkan bantuan bagi para penyintas. 

Chatbot, program kecerdasan buatan yang berinteraksi melalui teks, telah digunakan di Mongolia untuk memberikan informasi vital dan dukungan emosional kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satu hambatan utama dalam mencari bantuan untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga di Mongolia adalah stigma yang terkait dengannya. Akibatnya, keluarga-keluarga yang sudah menderita trauma semakin mengisolasi diri mereka dari bantuan.  

Chatbots yang digunakan di Mognolia menggunakan teknologi AI dan dilengkapi dengan deep learning serta terintegrasi di Facebook Messenger sehingga membuatnya tersedia secara luas. Melalui anonimitas dan aksesibilitasnya, chatbot terbukti berhasil mendorong para penyintas untuk mencari pertolongan. Bahkan untuk meningkatkan aksesibilitasnya, chatbots di Mongolia saat ini sedang diusahakan untuk diintegrasikan juga dengan pesan teks (SMS) untuk menjangkau orang-orang di daerah pedesaan dan tanpa internet. 

Belajar dari kasus di Mognolia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan hal yang sama. Dengan membuat Chatbot yang dapat didukung oleh lembaga pemerintah yang terlibat seperti komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kepolisian, dan lainnya, korban jadi memiliki platform untuk menceritakan pengalaman mereka tanpa risiko teridentifikasi, membuka jalan menuju penyembuhan dan keadilan. 

Berikut rincian potensi manfaat yang dapat rakyat Indonesia dapatkan melalui teknologi Chatbot: 

  1. Aksesibilitas 24/7 

Trauma kekekerasan seksual tak kenal waktu. Kebutuhan informasi dan dukungan bisa muncul kapan saja. Chatbot online 24/7 mampu memenuhi kebutuhan ini, menjadi pendamping virtual tanpa henti yang siap diakses kapanpun korban membutuhkannya. 

  1. Jembatan ke Sumber Daya 

Chatbot tak hanya berfungsi sebagai pendengar. Mereka dapat diprogram untuk memberikan informasi penting mengenai jalur pelaporan, layanan konseling, dan bantuan hukum terdekat. Korban tak perlu lagi kebingungan mencari jalan keluar, chatbot menjadi navigator yang mengarahkan mereka ke sumber daya yang tepat. 

  1. Mengatasi Keterbatasan SDM 

Kekurangan tenaga pendamping dan konselor menjadi kendala besar dalam penanganan kekekerasan seksual. Chatbot dapat menjadi solusi parsial, mengurangi beban petugas dengan menangani kasus-kasus ringan atau emergensi. 

  1. Dukungan Emosional Awal 

Trauma akibat kekerasan seksual kerap berujung pada depresi, kecemasan, dan ketakutan. Chatbot, dengan teknik-teknik konseling dasar, dapat memberikan dukungan emosional awal, menenangkan korban, dan mencegah kondisi mental memburuk sebelum mereka terhubung dengan konselor manusia. 

Tentu saja, implementasi chatbot di Indonesia bukanlah tanpa tantangan. Bahasa dan kulturalisasi konten chatbot harus disesuaikan agar relevan dan mudah dipahami. Infrastruktur digital dan literasi internet juga perlu ditingkatkan untuk menjamin penggunaannya oleh segenap lapisan masyarakat. Namun, keberhasilan chatbot di Mongolia membuktikan bahwa teknologi ini bukan hal yang mustahil. Dengan kolaborasi pemerintah, NGO, dan sektor teknologi, chatbot berpotensi menjadi senjata ampuh dalam perang melawan kekekerasan seksual di Indonesia. 

 

Referensi: 

https://blogs.adb.org/blog/chatbots-offer-new-lifeline-address-domestic-violence  

Lisa Mega Tanto Kusumo