Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Indonesia: Usaha dan Kendala
Sistem pemerintahan berbasis elektonik (SPBE) merupakan nama lain yang digunakan untuk menyatakan e-Government. Secara umum tujuan dari penyediaan Arsitektur SPBE ini menjadi rujukan pengembangan dan integrasi dari proses bisnis, data, aplikasi dan infrastruktur yang digunakan untuk lancarnya penggunaan teknologi informasi untuk mendukung operasional pemerintahan termasuk pelayanan kepada Masyarakat. Penambahan layer keamanan sebagai bagian SPBE juga merupakan sesuatu keharusan untuk melindungi tidak hanya sumber daya yang digunakan tetapi berhubungan juga jaminan kesinambungan layanan yang diberikan.
Pademi Covid 19 di awal tahun 2020 yang membatasi kontak phisik dalam banyak aktifitas masyarakat, telah mengamplifikasi penggunaan teknologi informasi dan mengakselesasi transformasi digital dalam berbagai kegiatan, baik dalam pemerintahan, pendidikan, industry/bisnis maupun bidang lainnya. Dalam bidang pemerintahan, teknologi digital telah menjadi alat yang semakin penting dalam mendukung penyediaan layanan baik di tingkat nasional, pusat maupun pemerintahan daerah. Pandemi Covid 19 memberikan pengalaman dan peluang pemanfaatan teknologi digital dalam berbagai layanan yang lebih luas.
Tetapi, jauh sebelum Pandemi Covid 19, pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan transformasi digital dengan mengadopsi layanan digital dalam tata Kelola pemerintahan. Istilah e-Government atau SPBE mengacu pada penyederhanaan dan transaksi proses bisnis dengan penggunaan TIK dalam konteks pemerintahan dan administrasi publik. Pemerintah Indonesia sendiri telah menjadikan SPBE sebagai bagian dari tata Kelola pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada Perpres 95/2018 yang secara khusus membicarakan tentang SPBE dan hal yang menjadi konsen didalamnya. Adapun prinsip SPBE yang diharapkan adalah mendorong tata Kelola pemerintahan yang efektif, terpadu, berkesinambungan, efisien, akuntabel, berbagi pakai dan aman. Hanya saja dalam perjalannya, penerapan Perpres ini tidak berjalan seperti yang direncanakan sebelumnya. Arsitektur SPBE nasional yang menjadi pedoman penyusunan arsitektur di level pemerintahan pusat dan daerah belum kunjung terbit sampai di penghujung 2022 dengan dikeluarkannya Perpres 132/2022.
Meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tetapi implementasi SPBE masih jauh dari prinsip SPBE yang diharapkan. Ketimpangan implementasi SPBE di instansi pemerintahan baik dipusat maupun di daerah begitu ternganga. Dalam suatu kesempatan, mentri keuangan mengeluh besarnya dana yang tersedot dalam urusan pengembangan system misalnya1. Sehingga upaya-upaya yang terintegrasi dan terkonsolidasi diberbagai level kebijakan harus menjadi komitmen bersama agar benar-benar memberi layanan digital bagi seluruh masyarakat. Beberapa permasalah penerapan SPBE tersebut antara lain ekslusif, tidak terintegrasi dan tidak berimbang diberbagai daerah.
Pertama, implementasi SPBE dapat dikatakan masih terlihat ekslusif dapat dilihat dari laporan peringkat penerapan SPBE 20212, dimana Indeks SPBE sangat beragam. Dilevel pemerintahan provinsi, posisi tertinggi ditempati oleh Provinsi Bali (3.68 – Sangat Baik) dan posisi terendah ditempati Provinsi Kalimantan Tengah dan Maluku Utara (1.00 – Kurang). Nilai indeks tersebut menunjukkan level kematangan layanan SPBE mulai dari 1 – 5. Angka Indeks 1 menunjukkan sudah tersedia layanan tetapi bentuk informasinya baru satu arah; angka 2 sudah menyediakan bentuk interaksi dua arah; angka 3 menunjukan sudah ada proses transaksinya dalam layanannya; angka 4 mengindikasikan adanya kolaborasi antar layanan SPBE dan angka 5 merupakan nilai optimum yang menyatakan telah adanya perbaikan dan peningkatan kualitas yang menyesuaikan dengan kebutuhan baik internal maupun eksternal. Dalam prakteknya dilapangan, tiap Kementerian, Lembaga maupun pemerintahan daerah melakukan Pengembangan SPBEnya secara independent, dan minim koordinasi dengan pihak lainnya. Prinsip berbagi data tidak berjalan dengan mudah yang salah satunya akibat permasalahan kewenangan. Dalam suatu kesempatan, menteri keuangan menyatakan tingginya biaya Pengembangan IT dimana contohnya satu aplikasi yang memiliki fungsi yang sama dapat dikembangkan berkali-kali akibat eksklusifitas tersebut. Sehingga, inklusifitas digital ini perlu didorong sehingga memenuhi prinsip tata Kelola SPBE dan juga kemudahan dalam berbagi data tanpa meninggalkan prinsip keamanan data itu sendiri. Eksklusifitas juga menjadi pintu terjadinya system yang jauh dari prinsip efektif dan efisien akibat tidak terjadinya sharing data yang terkonsolidasi dan interkoneksi antar berbagai system yang dikembangkan.
Kedua, integrasi atau keterpaduan merupakan masalah lain dari implementasi SPBE di Indonesia. Meskipun telah dinyatakan pada PP 82/2012 mengenai interoprabilitas dan kompatibilitas, banyak aplikasi yang dikembangkan tidak didasarkan pada kesatuan pandang dan road map yang jelas. Pengembangan system banyak dilakukan tanpa memperhatikan kualitas, manfaat, kontinuitas serta keterpaduan dengan system lainnya. Tidak jarang baik masyarakat maupun staff pemerintahan dibingungkan dengan ragam aplikasi, duplikasi data. Pemerintah baik pusat maupun daerah perlu bekerja sama membangun kolaborasi yang strategis sehingga interoperabilitas system dapat didorong untuk membangun layanan digital yang mumpuni sebagai landasan layanan public baik bagi masyarakat umum maupun bisnis.
Ketiga, meskipun secara umum Indonesia menempati urutan ke 77 dalam survey United Nations 2022 untuk penerapan e-government, permasalahan ketimpangan implementasinya juga menjadi pekerjaan rumah bagi banyak pihak. Sebagai contoh, provinsi Sumatera Selatan memiliki predikat baik dengan nilai 2,62 di tahun 2021 dan rata-rata kinerja bersama pemda kabupaten/kota sebesar 2,11. Dari sisi rangking kinerja SPBE, Sumsel menempati posisi ke 15 dari 34 provinsi. Bila di amati lebih lanjut angka kinerja SPBE pada level pemerintahan tingkat dua, 4 kabupaten/kota memiliki predikat kurang, 9 predikat baik dan hanya 3 predikat baik. Beragamnya predikat ini disebabkan oleh berbagai faktor berdasarkan pada 47 indikator kematangan yang dibagi menjadi 4 domain yaitu kebijakan internal, tata kelola, manajemen dan layanan SPBE. Permasalahan ini hampir merata diberbagai wilayah Indonesia yang disebabkan tidak hanya dari sisi kebijakan dan geography wilayah, tetapi juga ketersediaan dana, sumberdaya, dan teknologi. Budaya digital hanya menjadi wacana dimana seharusnya menjadi komitmen bersama baik dari level nasional, pusat dan pemerintah daerah.