School of Information Systems

Ubiquitous Computing: Smart Homes

Konsep dasar dari ubiquitous computing diperkenalkan pertama kali pada tahun 1965 oleh Gordon Moore. Moore mengatakan bahwa seluruh alat elektronik akan saling terhubung dan dikontrol pada sebuah komputer secara otomatis di masa depan. Pada tahun 1988, istilah dan karya orisinil ubiquitous computing pertama kali diperkenalkan oleh Mark Weiser di XEROX PARC (Palo Alto Research Center). Weiser mengemukakan bahwa perangkat informasi dan komunikasi akan menjadi begitu umum dan begitu kecil sehingga mereka dapat dikatakan ada “dimana-mana” (ubiquitous), bahkan mungkin saja tertanam di dinding, langit-langit, furnitur, dan ornamen. Mereka juga dapat dipakai sebagai perhiasan atau ditenun menjadi pakaian. Jelas, perangkat informasi dan komunikasi akan selalu dibawa. Perangkat ini juga akan dapat berkomunikasi satu sama lain.

Istilah “ubiquitous computing” mencakup beberapa bidang komputasi, termasuk wearable computing dan mobile computing. Contoh dari perangkat yang termasuk dalam ubiquitous computing adalah “tabs” dan “pads”, dimana dengan perangkat-perangkat ini, pengguna akan dapat selalu menggunakannya secara portable. Saat ini pun kemajuan teknologi sudah sangat pesat yang dibuktikan dari perkembangan koneksi internet yang sudah sampai pada 5G (meski belum merata penyediannya di Indonesia). Maka, infrastruktur teknologi yang dapat menunjang ubicomp, yakni wearable dan mobile computing, semakin berkembang dan UX designer harus menemukan terobosan rancangan layanan dan aplikasi yang dapat memanfaatkan mobilitas, kemampuan penggunaan lokasi fisik dan pergerakan orang, serta memperbaiki performa wearable devices bagi pengguna.

Secara general, HCI dan interaction design di lingkungan ubiquitous computing (atau disebut juga ubicomp atau pervasive computing) berkaitan dengan banyak perangkat komputasi yang berinteraksi dengan banyak perangkat lainnya. Dalam pengembangan ubicomp, diperlukan pemahaman akan ruang dan pergerakan serta memadukan aspek fisik dan digital. Setelah mengobservasi technological space, UX designer akan melihat information spaces dan bagaimana kedua hal ini dipadukan dengan physical space untuk menciptakan suatu blended space.

Dengan dimungkinkannya peralatan yang tertanam di dinding ataupun melekat pada seseorang di masa depan, HCI (human-computer interaction) dan UX menjadi sangat berbeda. Desain sistem interaktif akan meluas hingga ke desain seluruh lingkungan, interaksi lintas saluran dan perpaduan fisik dan digital. Dengan adanya perkembangan dari ubiquitous computing technology, dimungkinkan terjadinya interaksi seluruh tubuh, misalnya memberi perintah dan memasukkan data melalui gerakan/ gestur. Aplikasi dari ubiquitous computing technology ini dapat diimplementasikan dalam banyak jenis dan memiliki visi untuk dapat memberikan bentuk-bentuk baru terkait pembelajaran di kelas (sekolah) di masa depan, mewujudkan smart cities, smart homes, dan banyak proyek komunitas baru.

Smart home merupakan salah satu visi dari penerapan ubiquitous computing technology. Proses modernisasi aktivitas di rumah dimungkinkan untuk terjadi karena terdapat beberapa alasan yang mendasari. Pertama, ada berbagai macam perangkat baru yang dapat membantu aktivitas rumah tangga, seperti merawat bayi, memberi kabar ke keluarga, berbelanja, memasak, dan berbagai aktivitas rekreasi, misalnya membaca buku, mendengarkan musik, dan menonton TV. Selain itu, akan lebih mudah jika dapat mengatur dan mamantau pencahayaan (menyalakan/ mematikan lampu), pemanas, AC dan sistem keamanan melalui peralatan yang tersambung ke internet. Kedua, rumah ini merupakan tempat yang ideal untuk konektivitas jaringan nirkabel jarak pendek dan untuk memanfaatkan koneksi broadband internet secara maksimal.

Konsep smart homes yang dipaparkan oleh Eggen et al. (2003) yang berisi mengenai sejumlah prinsip desain umum untuk rumah masa depan dari hasil kegiatan focus groups dengan keluarga-keluarga adalah sebagai berikut:

· Rumah adalah tentang pengalaman, misalnya datang atau meninggalkan rumah, bangun tidur, melakukan sesuatu bersama, dan lainnya. Orang kurang peduli dengan tujuan untuk melakukan pekerjaan rumah, namun lebih peduli pada pengalaman yang dirasakan dan dialami dalam keseharian. Hal ini menunjukkan pentingnya konteks penggunaan di mana aplikasi atau layanan harus dijalankan, yakni harus sesuai dengan ritme, pola, dan siklus kehidupan.

· Setiap orang ingin menciptakan pengalaman rumah sendiri.

· Setiap orang menginginkan teknologi berpindah ke latar belakang (menjadi bagian dari lingkungan), antarmuka menjadi transparan, dan fokus beralih dari fungsi menjadi pengalaman.

· Interaksi dengan rumah seharusnya lebih mudah dan lebih natural.

· Rumah harus menghormati preferensi penghuni.

· Rumah harus beradaptasi dengan situasi fisik dan sosial yang dihadapi, misalnya profil preferensi seorang anggota keluarga dalam pengaturan preferensi anggota keluarga secara keseluruhan (seperti menonton TV dengan anggota keluarga lain) bisa sangat berbeda dibandingkan dengan situasi di mana tidak ada orang lain yang hadir.

· Rumah harus mengantisipasi kebutuhan dan keinginan orang sejauh mungkin tanpa mediasi secara sadar.

· Rumah harus dapat dipercaya, aplikasi harus cukup mempertimbangkan masalah privasi.

· Setiap orang menekankan bahwa mereka harus selalu memegang kendali.

Dari daftar di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang menganggap bahwa suasana itu penting dan rumah harus memiliki teknologi agar dapat membantu aktivitas. RUmah juga harus dapat dipercaya dan dapat mengantisipasi kebutuhan. Tentunya hal ini masih perlu pengembangan teknologi di masa depan untuk dapat mewujudkan permintaan pengguna sedemikian rupa. Namun, jelas bahwa konsep smart homes sangat berkaitan dengan menghadirkan “wake-up experience” yang luar biasa bagi pemilik rumah. “Wake-up experience” merupakan salah satu konsep mengenai pengalaman multi-penginderaan yang dapat dipersonalisasi yang seharusnya lebih mudah dibuat dan diubah. Dengan teknologi, diharapkan dimungkinkan untuk menciptakan pengalaman mencium aroma kopi yang baru diseduh, mendengarkan musik lembut, atau suara alam, seperti suara ombak atau suara burung di pagi hari.

Smart homes dengan segala teknologi yang dimilikinya akan membawa manfaat yang besar, terutama bagi lansia dan difabel. Dengan bertambahnya usia, kemampuan untuk melakukan aktivitas yang dulunya mudah, seperti membuka tirai ataupun menyapu lantai, menjadi lebih sulit dilakukan. Di rumah-rumah yang sudah mengadopsi sistem smart homes, kegiatan-kegiatan utama dapat dibantu dengan menambahkan pengontrol dan motor listrik ke lingkungan fisik. Bagi penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kursi roda, smart homes juga akan mendatangkan manfaat yang besar. Contohnya, pintu dapat dibuka secara otomatis dengan hanya melewati bagian lantai/ karpet tertentu atau menggunakan remote control. Konsep penggunaan remote control untuk membuka pintu juga otomatis akan dapat digunakan untuk mengoperasikan aktivitas lain, seperti membuka tirai dan mengoperasikan TV.

Jadi, kebutuhan perangkat komputasi dan komunikasi yang meningkat pesat mengharuskan adanya pengembangan teknologi agar perangkat ini menjadi “ubiquitous” atau dimana-mana. Perangkat tersebut dibawa, dipakai, dan disematkan di berbagai macam produk. Sebenarnya, lingkungan rumah sebagai tempat orang memulai aktivitasnya dengan bangun tidur juga merupakan tempat yang tepat untuk mengimplementasikan teknologi. Dengan smart homes, pengalaman yang didapatkan pemilik rumah terutama pengalaman sehabis bangun tidur akan dapat ditata sedemikian rupa agar sesuai dengan preferensi pemilik rumah. Selain itu, jika pemilik rumah merupakan lansia atau pengguna kursi roda, tentu smart homes membantu produktivitas melalui beragam kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi.

Ferdianto, Trifena Amanda Tjitrowinoto