School of Information Systems

Cloud Computing dan Lingkungan yang Dikorbankan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di zaman sekarang kian lama kian cepat. Salah satu teknologi digital yang sering digunakan perorangan maupun perusahaan di berbagai industri, mulai dari industri pendidikan hingga industri perdagangan, adalah komputasi awan (cloud computing). Cloud computing sendiri merupakan suatu peluang besar bagi perkembangan teknologi di industri digital, sekaligus merupakan suatu tantangan terhadap keberlanjutan lingkungan. Mengapa demikian? Nah, sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita kenali lebih lanjut tentang cloud computing.

Apa itu Cloud Computing?

Istilah cloud (awan) sebenarnya hanyalah sebuah metafora untuk menggambarkan internet. Maka cloud computing adalah gabungan antara teknologi komputer (computing) dan internet (cloud). Cloud computing merupakan suatu teknologi yang membuat data dapat dikumpulkan, dianalisis, dan disimpan di pusat data (data center), dimana data-data tersebut dapat diakses di seluruh dunia menggunakan jaringan internet.

Terdapat 3 jenis layanan Cloud:

  • Software as a Service (SaaS), dimana pengguna dapat langsung memakai software yang disediakan, sedangkan platform dan infrastruktur dibalik aplikasi tersebut akan dikelola penyedia layanan
  • Platform as a Service (PaaS), dimana pengguna menyewa layanan untuk membuat platform atau kerangka kerja baru, seperti sistem operasi, database engine, dan lainnya
  • Infrastructure as a Service (IaaS), dimana pengguna dapat menggunakan infrastruktur IT, seperti storage, memory, dan lainnya.

Pada tahun 2018, diperkirakan ada sekitar 3,6 miliar orang yang mengakses layanan cloud computing seperti Google Drive, Office365, Oracle, Netflix, dan Dropbox. Beberapa penyedia layanan cloud computing yang paling sering digunakan saat ini adalah Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, Google Cloud Platform, dan Alibaba Cloud.

Manfaat Cloud Computing

Cloud computing sendiri memiliki berbagai keunggulan, yakni pengguna tidak perlu menyediakan storage pada perangkatnya karena file akan disimpan di cloud storage. Data tersebut sebenarnya disimpan dalam data center atau server yang selalu tersedia dan terkoneksi dengan internet selama 24 jam. Hal inilah yang membuat data kita dapat diakses dimana saja dan kapan saja selama perangkat kita terhubung dengan internet.

Cloud computing juga memiliki pengamanan bencana (disaster recovery) yang baik. Pengguna atau perusahaan yang telah menyimpan datanya di server tidak perlu khawatir karena terdapat backup data milik kita di server lainnya. Selain itu, cloud computing telah otomatis memperbarui perangkat lunak pengguna sehingga kita tidak perlu terus menerus memperbarui perangkat lunak sendiri. Keuntungan lainnya adalah dapat meningkatkan kolaborasi serta kontrol dokumen dari para pengguna. Contohnya, dengan adanya Google Workspace, kita dapat dengan mudah bekerja sama secara real time dengan orang lain.

Dampak Lingkungan Cloud Computing

Dibalik keuntungan yang dapat kita peroleh dari penggunaan cloud, terdapat beberapa fakta menarik. Sebuah studi yang dilakukan Greenpeace menunjukkan bahwa di tahun 2025, diprediksi 20% dari total listrik dunia akan dihabiskan oleh sektor teknologi. Angka yang meningkat drastis ini disebabkan oleh semakin luasnya penggunaan cloud computing dan semakin berkembangnya teknologi baru yang membutuhkan daya komputasi besar, seperti kecerdasan buatan. Saat ini, layanan teknologi informasi menyumbang 2% dari seluruh emisi karbon global.

Bagaimana kebenaran di balik dampak lingkungan dari cloud computing?

Seorang antropologis dari Massachusetts Institute of Technology, Steven Gonzalez Monsterrate, melakukan studi selama lima tahun di pusat server layanan cloud. Dari situ didapatkan beberapa dampak data storage pada lingkungan, yaitu sebagai berikut.

  • Cloud si Pembakar Karbon

Kini, Cloud memiliki jejak karbon yang lebih besar dibandingkan industri penerbangan. Satu pusat data saja dapat mengonsumsi listrik yang setara dengan listrik yang digunakan 50.000 rumah. Mengapa energi yang diperlukan begitu banyak? Cloud sendiri memiliki infrastruktur berupa ribuan server komputer dan server-server ini tidak ditenagai oleh sihir, melainkan oleh listrik. Kebutuhan energi dari pusat data atau server untuk memastikan layanan data dan cloud tersedia kapan saja dan di mana saja tentunya sangat besar. Pusat data juga dirancang menjadi hyper-redundant, dimana jika terdapat kegagalan pada satu sistem, sistem lain akan langsung menggantikannya untuk mencegah gangguan dalam pengalaman pengguna.

Selain itu, server-server dalam pusat data juga perlu pendinginan. Salah satu hasil buangan dari mesin komputer yang dapat menghambat proses kerja dunia digital jika dibiarkan begitu saja adalah panas. Maka, panas harus terus dikurangi supaya mesin-mesin komputer dapat bekerja dalam keadaan konstan setiap hari, setiap saat. Untuk mengatasi ancaman tersebut, pusat data bergantung pada mesin pendingin udara, seperti Computer Room Air Conditioner (CRAC). Tentunya sejumlah besar energi listrik dibutuhkan untuk memberi daya pada server dan menjaganya tetap dingin selama 24 jam.

  • Cloud si Penyedot Air

Di beberapa pusat data, pendinginan mesin dilakukan dengan media air dingin yang dinilai lebih efektif daripada media udara. Penggunaan air dingin ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi jejak karbon, tetapi tentu saja tetap ada harga yang harus dibayar. Di Bluffdale, Utah, Amerika Serikat, penduduk mengalami kekurangan air dan pemadaman listrik sebagai efek dari pusat data milik Badan Keamanan Nasional AS yang menghabiskan tujuh juta galon air setiap harinya untuk beroperasi. Kemudian di Arizona, Amerika Serikat, pusat-pusat data menghasilkan pendapatan sebanyak jutaan dolar, tetapi juga menghabiskan air sebanyak jutaan galon setiap harinya. Penggunaan media air dingin untuk pendinginan mesin pusat data tampaknya juga menghabiskan energi air dalam jumlah besar yang juga merugikan penduduk yang hidup di sekitarnya.

  • Cloud si Berisik

Tidak hanya itu, pusat-pusat data juga mengeluarkan limbah akustik atau yang disebut juga dengan polusi suara. Penduduk yang tinggal di sekitar pusat data merasa terganggu akan suara dari kehidupan digital dalamnya: getaran hard disk, gemuruh pendingin udara, suara putaran kipas, hingga dengungan generator diesel. Polusi suara yang dihasilkan pusat data tidak hanya mengganggu warga, tetapi juga bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental seseorang. Di Amerika Serikat, terdapat warga yang melaporkan adanya peningkatan tekanan darah dan kadar kortisol akibat kebisingan dari pusat data di kotanya. Ada juga yang didiagnosis menderita hipertensi hingga harus sering menemui terapis klinis untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan oleh bisingnya pusat data.

  • Penghasil Limbah Abadi

Sejak pertama kali smartphone dijual di pasar, sudah ada lebih dari tujuh miliar perangkat elektronik yang diproduksi. Setiap dari peralatan elektronik ini memiliki jangka hidup sekitar 2 tahun karena teknologi yang semakin canggih membuat mereka semakin usang. Ditambah lagi, perusahaan produksi sengaja merancangnya mudah rusak supaya mereka cepat mendapat keuntungan dari perilisan produk baru mereka dengan fitur yang lebih canggih. Padahal, bumi terus dikeruk dan logam terus ditambang untuk membuat berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Tidak sedikit pula diantara logam-logam tersebut yang beracun dan mengandung unsur radioaktif serta membutuhkan waktu ribuan tahun untuk diuraikan. Server-server di dalam pusat data sendiri tersusun atas: kabel, baterai, Uninterruptible power supplies (UPS), pendingin udara (CRAC & CRAH), power distribution unit (PDU), dan trafo, yang harus diubah dan dibuang secara berkala ketika sudah tidak bekerja sesuai standar.

  • Penghijauan Cloud

Pusat data berskala besar (hyperscale) seperti yang dikelola oleh Google, Facebook, dan Amazon telah berjanji untuk melakukan transisi menuju netral-karbon dengan penyeimbangan karbon dan investasi ke infrastruktur energi terbarukan seperti angin dan matahari. Di sisi lain, pusat data berskala kecil tentunya kekurangan sumber daya dan modal untuk mengejar keberlanjutan lingkungan. Namun, sejak adanya fasilitas pusat data hyperscale, perusahaan, universitas, dan lembaga lain yang awalnya mengoperasikan pusat data mereka sendiri mulai mentransfer data ke fasilitas pusat data hyperscale untuk mengurangi biaya energi. Menurut laporan dari Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley, penggunaan energi dapat turun sebanyak 25% jika seluruh Cloud dialihkan ke fasilitas pusat data hyperscale.

Sejumlah perusahaan teknologi besar juga mulai mengambil langkah besar untuk menghijaukan Cloud mereka. Contohnya Apple yang berkomitmen untuk memberdayakan iCloud dengan energi terbarukan. Mereka membangun ladang tenaga surya di pusat data Carolina Utara dan menggunakan energi panas bumi dan matahari untuk memberi daya di pusat data Nevada yang baru. Apple juga telah membeli energi angin untuk pusat data Oregon dan California.

Inisiatif Facebook adalah contoh lainnya. Awalnya Facebook mendapat kecaman dari Greenpeace dan beberapa komunitas lingkungan lainnya karena menggunakan batu bara untuk lebih dari setengah energinya. Namun sekarang, Facebook memilih menggunakan energi terbarukan untuk menggerakkan pusat datanya. Pusat data terbarunya akan berada di Iowa, yang direncanakan akan menggunakan 100% tenaga angin.

Dari contoh-contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak mustahil bagi individu, komunitas, perusahaan teknologi, hingga pemerintah untuk menghijaukan Cloud mereka dan mewujudkan Cloud yang berkelanjutan. Sebagai pengguna layanan Cloud, kita juga harus menyuarakan pendapat, mendorong penetapan kebijakan hijau, serta mendukung investasi hijau yang dilakukan perusahaan untuk meminimalisir dampak lingkungan dari perkembangan cloud computing. Jika kita menuntut transparansi dan standar lingkungan global yang lebih baik, kita akan dapat membangun teknologi yang bermanfaat bagi manusia, sekaligus teknologi yang ramah bagi lingkungan.

Sumber :

Ahmad Ashari, & Herri Setiawan. (2011). Cloud Computing : Solusi ICT ? Jurnal Sistem Informasi Universitas Sriwijaya, 3(2), 130558. https://doi.org/10.36706/jsi.v3i2.736

Beardmore, A. (2022, October 6). Uncovering the Environmental Impact of Cloud Computing. Earth.Org. https://earth.org/environmental-impact-of-cloud-computing/

Greenpeace Finds Amazon Breaking Commitment to Power Cloud with 100% Renewable Energy. (2019, February 13). Greenpeace USA. https://www.greenpeace.org/usa/news/greenpeace-finds-amazon-breaking-commitment-to-power-cloud-with-100-renewable-energy/

Monserrate, S. G. (2022). The Cloud Is Material: On the Environmental Impacts of Computation and Data Storage. MIT Case Studies in Social and Ethical Responsibilities of Computing, Winter 2022. https://doi.org/10.21428/2c646de5.031d4553

Suryadinata, W. (2016, December 16). CLOUD COMPUTING. School of Information Systems. https://sis.binus.ac.id/2016/12/16/cloud-computing/

Walsh, B. (2014, April 2). Your Data Is Dirty: The Carbon Price of Cloud Computing. Time. https://time.com/46777/your-data-is-dirty-the-carbon-price-of-cloud-computing/

Dyah Wahyu Sukmaningsih, Gwenda Tannia Suryasamudra

    Deprecated: Function get_option was called with an argument that is deprecated since version 5.5.0! The "comment_whitelist" option key has been renamed to "comment_previously_approved". in /var/www/html/public_html/sis.binus.ac.id/wp-includes/functions.php on line 6031