Peran Influencer dalam Agile Digital Marketing
Dalam beberapa tahun ini banyak sekali bermunculan influencer menggunakan channel-channel YouTube, Instagram atau Tik Tok. Dengan cepat bermunculanlah banyak selebriti social media. Murah dan cepat tanpa prosedur berbelit. Sudah banyak sekali “mendadak selebriti” yang terbentuk dari social media. Penyanyi lagu dangdut, penyanyi lagi pop, podcaster, pelawak, bahkan saat ini ada afiliator terkenal yang masuk penjara karena terdeteksi penipuannya di social media. Proses cepat yang dikenal dengan pansos (panjat sosial) menjadi hal yang wajar di dunia sosial mediam, meski harus berurusan dengan polisi bahkan sampai kehilangan nyawa untuk membuat sebuah konten digital.
Tidak kita pungkiri juga bahwa mereka menjadi peluang untuk perusahaan tertentu dalam memasarkan produknya. Ada sebagian influencer menjadi endorser dan sebagian lagi memang dibayar sebagai selebriti untuk sebuah produk atau jasa yang nantinya akan dipasarkan di channel tertentu sebagai iklan berbayar atau dipasang di akunnya sendiri. Sebagian endorser diberikan produk sebagai ganti jasa mengiklankannya, sementara Sebagian lainnya langsung dibayar. Tarif dan pembayaran masing-masing influencer berbeda, tergantung dari banyak hal. Dalam isu global Omnichannel dan saat ini berkembang sebuah istilah baru dalam pemasaran digital adalah Agile Marketing, yatu pemasaran digital yang kontennya dapat berubah dengan sangat cepat. Maka dalam Agile Marketing penggunaan jasa seorang influencer sangatlah tepat. Bagaimana mencari dan memilih seorang influencer yang cocok dengan produk kita?
Tentunya pertama, harus diketahui jumlah followers atau subcribers-nya. jumlah konten yang sudah dibuat dan seberapa sering influencer ini melakukan posting konten. Ditemukan istilah Micro-influencer dan mega-influencer. Meskipun seorang influncer terkenal namun hanya sesekali viral, belum tentu akan dapat viral pada keadaan selanjutnya. Juga harus dilihat banyaknya penonton (viewers) dan yang memberi komen positif serta like. Sebuah channel atau akun social media dapat saja mendadak viral, namun bukan karena komen yang positif. Mungkin sekali karena konten negatif yang dihujat oleh netizen, dan tetap viral tentunya. Kasus Denis Cadel dengan Uya Kuya dapat menjadi contoh untuk hal ini.
Kedua, lihatlah konten dan siapa followers atau subcribers-nya. Apakah konten yang disampaikan influencer tersebut memang dapat dihubungkan dengan produk atau jasa yang akan dipasarakan. Mengingat followers atau subcribers adalah target market produk atau jasa yang akan dipasarkan. Konten di YouTube lebih banyak disukai penonton berjenis kelamin pria, sementara Instagram lebih disukai penonton berjenis kelamin wanita. Namun bukan berarti tidak ada lawan jenis kelamin yang menonton. Intagram dan Tik Tok misalnya, lebih banyak disukai kalangan milenial, sementara Facebook lebih diminati generasi X. Di samping harus dilihat isi kontennya. Sebagai contoh, influencer yang membuat video cooking class bukan berarti hanya cocok untuk produk makanan dan minuman, bisa saja masuk ke alat-alat rumah tangga atau
fashion selama masih dapat dihubungakan. Namun mungkin tidak cocok jika menyampaikan informasi saham. Carilah influencer dengan konten yang lebih netral, yang mungkin dapat menyampaikan pesan-pesan yang lebih luas.
Ketiga adalah kredibilitas influencer sendiri. Apakah Influencer seorang yang terlihat cerdas, technology geek, informatif atau malah hanya seorang entertainer. Ini akan sangat berbeda dalam menyampaikan pesan dari produk atau jasa yang akan diiklankan. Ada influencer yang mencoba produk-produk baru menceritakannya samapai detail, in ikan cocok untuk mendeskripsikan produk-produk baru. Namun juga dapat menggunakan jasa inluencer yang spesifik seperti alat-alat make-up dan sebagainya. Pandai-pandailah memilih influencer untuk pemasaran sebuah produk.