School of Information Systems

Business in digital technology and disruption era

Kenyataannya, fenomena disruption tidak dapat dibendung dan telah mempengaruhi serta mendorong dunia global berpikir tentang bagaimana menerapkan ilmu masa depan dalam kondisi sekarang. Disisi lainnya, banyak pihak yang masih bertahan dengan strategi “masa lalu” untuk diterapkan di masa sekarang. Kesenjangan kondisi inilah yang menjadikan reformulasi manajemen strategik pada berbagai organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintahan menjadi relevan dengan melakukan disruption mindset, sehingga faktor-faktor manajerial lebih terkelola dengan indikator simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accesible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat) sebagai faktor penentu keberhasilan (critical success factor).

Disruption mengubah bukan hanya “cara” berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri. Berikut merupakan 5 ciri-ciri disruption era, yaitu:

Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru dan membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita. Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.

Di Indonesia, kehadiran penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi, seperti Go-Jek dan Uber menimbulkan perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat. Supir angkot dan metromini penghasilannya menurun drastis, ojek-ojek pangkalan melakukan demo karena kehilangan penumpang, dan bahkan perusahaan taksi besar sekelas Blue Bird pun mengalami penurunan profit yang fantastis akibat kehadiran pemain-pemain baru tersebut. Namun, masyarakat beranggapan bahwa kehadiran Go-Jek dan Uber justru memberikan kemudahan bagi mereka.

Disruption terjadi ketika suatu pihak hadir menawarkan layanan yang lebih praktis dengan harga yang lebih rendah dari yang tersedia saat ini, sehingga masyarakat banyak yang beralih ke layanan baru tersebut. Singkatnya, disruption merupakan inovasi (Kasali, 2017).

Saat ini informasi mengalir begitu cepat dan perilaku konsumen pun mengalami perubahan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk bisa beradaptasi serta merespon perubahan secara cepat pula. Transformasi digital kemudian menjadi solusi untuk menjawab tantangan ini. Banyak yang beranggapan bahwa melakukan transformasi digital berarti going digital dengan membuat website, akun media sosial, atau mobile application perusahaan. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi transformasi digital bukan melulu soal implementasi teknologi atau digitalisasi. Transformasi digital memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk perubahan model dan strategi bisnis, customer engagement, hingga budaya perusahaan.

Banyak fenomena disruption yang terjadi di abad ini. Berbagai perusahaan-perusahaan besar yang dulu merajai industri tertentu tiba-tiba saja pailit dan bahkan beberapa harus gulung tikar karena kehadiran pemain baru yang berinovasi. Disruption tentu bisa terjadi di berbagai lini dan industri, termasuk dunia pendidikan, politik, bahkan pemerintahan. Disruption bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Kedatangannya seringkali secara tiba-tiba.

Dalam era digital dan transformasi, kita dapat menghubungkannya dengan konsep VUCA. Definisi VUCA adalah sebagai berikut:

Volatile: lingkungan bisnis yang labil, berubah amat cepat dan terjadi dalam skala besar.

Uncertain: sulitnya memprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi.

Complex: tantangan menjadi lebih rumit karena multi faktor yang saling terkait.

Ambiguous: ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.

Dalam situasi VUCA para leader dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka panjang namun fleksibel dan adaptif dalam jangka pendek. Value dan outcome menjadi pegangan untuk decision making. Visi jangka panjang tetap dijaga oleh leader dengan pendekatan adaptif dan agile.

Dengan kondisi yang penuh ketidakpastian, bagaimana sebuah bisnis dapat menghadapi disruption di era digital ini dan di era-era selanjutnya? Kuncinya adalah inovasi dan transformasi. Untuk bisa bertahan, suatu produk/perusahaan/organisasi harus tetap relevan dengan terus melakukan inovasi serta berguna dan dibutuhkan oleh lingkungan/masyarakat luas. Dan tentu ini berlaku bukan hanya untuk industri maupun organisasi, tapi juga untuk setiap individu. Jika kita tidak melakukan transformasi dengan terus meningkatkan kualitas diri, kita juga mungkin akan ikut tergerus oleh arus disruption. Perusahaan dituntut untuk memiliki pemikiran terbuka terhadap berbagai hal dan dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang ada.

 Di gelombang disruption, Model Bisnis tidak bisa dikembangkan semata-mata dengan menggunakan cara berfikir lama. Teknologi memberikan banyak kemudahan dan cara baru, segala sesuatu yang tidak mungkin di masa lalu menjadi amat memungkinkan di hari ini.

Strategi pertama, tutur Rhenald, lakukan self-disruption dengan mengganti cara kerja secara revolusioner. Mengubah produk dan membangun sistem online untuk menghubungkan perusahaan dengan pasar, serta memperbaiki struktur biaya maupun proses bisnis. Kedua, lakukan kolaborasi dengan bisnis-bisnis baru yang sudah berkembang atau mulai tumbuh di pasar. Carilah pola kerja sama yang dapat memangkas biaya. Ketiga, melatih semua jajaran eksekutif untuk memahami makna disruption dan membongkar pola pikir (maindset) mereka. Terakhir, re-focus segmen. Periksa di mana segmen yang masih terbuka dan tercipta dalam waktu cepat. Mana yang sudah ditinggalkan, mana yang mengecil. Reformulasikan kembali strategi tanpa harus menunggu akhir tahun,” ujarnya.

Diversifikasi Bisnis

Perusahaan telekomunikasi semacam telkom, indosat oredoo, dan XL juga sudah pasti punya inkubator perusahaan start up. Bahkan sekarang beberapa bank pun berinvestasi di fintech, karena ini jadi cash cow masa depan, dan juga mengantisipasi disrupsi di masa depan. Daripada mati dikalahkan kompetitor, lebih baik mati dikalahkan sesama anak perusahaan sendiri.

Menghadapi situasi di era digital dan transformation, sebagai pelaku bisnis, kita harus mengetahui dan memahai perbedaan antara going digital dan digital transformation. Saya mengambil satu contoh yaitu BPTN.

Mengadopsi sistem internet/mobile banking saja adalah going digital, sedangkan BTPN melakukan digital transformation. Dalam hal ini, BTPN melakukan perubahan dari segi sistem operasional mereka. Untuk membuka rekening, bukan Anda yang harus datang ke bank, tapi pegawai bank yang akan mendatangi anda. Dengan sistem seperti ini tentu yang diperlukan bukanlah lagi customer service yang harus “berpenampilan menarik”, melainkan kru-kru yang bisa mobile dan bekerja dengan sistem shift serta melek teknologi. Bukan tidak mungkin jika trend operasional perbankan akan bergeser menjadi seperti ini. Selain mengimplementasikan teknologi, sistem operasional dan budaya perusahaan pun ikut bertransformasi. Saya melihat inovasi yang dilakukan BTPN ini sebagai contoh strategi untuk menghadapi disruption di era digital seperti sekarang ini.

Referensi :

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3103505/perusahaan-harus-ubah-strategi-demi-bertahan-di-era-digital

https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disruption.

https://tuhunugraha.com/digital-transformation/2017/07/10/4-jurus-market-leader-beradaptasi-di-era-disrupsi-digital/

https://id.linkedin.com/pulse/mencoba-memahami-disruption-di-era-transformasi-riska-purnawati

Fenomena “Disruption” Bukan Lagi Ancaman, Melainkan Peluang

MENGENAL DUNIA VUCA DAN TANTANGANNYA

Junyati