School of Information Systems

Jual “Software” Bajakan, Mal Bisa Didenda Rp 100 Juta

Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan Undang-Undang Hak Cipta No 28/2014 pada Oktober 2014 lalu. Undang-undang itu, disebut oleh Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna, bisa membantu mengeluarkan Indonesia dari daftar Priority Watch List yang dikeluarkan oleh US Trade Representative. Priority Watch List merupakan daftar negara di dunia yang diidentifikasi sebagai negara dengan tingkat pembajakan yang tinggi. Selain Indonesia, daftar tersebut juga mencakup Tiongkok, India, dan Rusia.

“Keluarnya Indonesia dari daftar tersebut dapat meningkatkan kepercayaan investor dan perusahaan, khususnya dalam bidang teknologi, untuk membuka usaha di Indonesia tanpa merasa khawatir produknya dibajak,” demikian ujar Widyaretna dalam keterangan tertulis yang diterima KompasTekno, Kamis (26/2/2015). Selain itu, adanya pengaturan yang lebih jelas dan sanksi yang lebih keras dalam UU Hak Cipta juga dikatakan Widyaretna sepatutnya akan menekan angka pembajakan.

UU No 28/2014 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, menetapkan denda pelanggaran hak karya cipta yang lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Selain itu, UU Hak Cipta yang baru juga menitikberatkan tanggung jawab pemilik mal atau hypermarket untuk tidak membiarkan produk bajakan dijual di tempat usahanya. Jika pemilik tempat usaha lalai dalam mematuhi UU ini, mereka dapat dikenakan denda hingga Rp 100 juta.

Berdasarkan studi MIAP dengan Makara Mas Universitas Indonesia, perangkat lunak (software) menduduki peringkat pertama (33,50 persen) sebagai produk yang paling sering dibajak. Produk lain yang sering dibajak ialah kosmetik, obat-obatan, pakaian, barang-barang berbahan kulit, serta makanan dan minuman.

Polda Metro Jaya bersama MIAP dan Apkomindo (Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia) saat ini sedang melakukan sosialisasi UU No 28/2014 ini. Melalui sosialisasi tersebut, diharapkan lebih banyak masyarakat Indonesia yang sadar akan bahaya perangkat lunak bajakan, sekaligus mengajak partisipasi aktif masyarakat dalam memerangi pembajakan di Indonesia.

Pedagang Jual Software Bajakan, Pengelola Gedung Ikut Dipidana

Upaya pemerintah untuk memberantas pembajakan di Indonesia diwujudkan melalui Undang-Undang Hak Cipta No 28 yang dikeluarkan pada 2014 yang lalu. Dalam UU tersebut, pasal 10 dan pasal 114 menyebutkan, pihak pengelola suatu pusat perbelanjaan bisa saja dijerat pasal pelanggaran hak intelektual tersebut, apabila membiarkan pedagangnya menjual produk bajakan.

Tidak tanggung-tanggung, apabila terbukti bersalah, pengelola gedung pertokoan dan mal yang lalai akan dipidana dengan hukuman denda hingga Rp 100 juta.

“Pengelola bisa dianggap berkontribusi terhadap pembajakan tersebut. Seharusnya, mereka bisa melarang pedagang untuk tidak menjual produk bajakan,” ujar Parlagutan Lubis, Direktur Kerjasama & Promosi DJHKI, Kementerian Hukum dan HAM RI, saat memberikan penjelasan mengenai UU baru tersebut di Jakarta, Rabu (13/5/2015). UU Hak Cipta ini memang masih berumur relatif muda. Ia baru saja disahkan pada 16 Oktober 2014 lalu. Untuk memperkenalkannya, pemerintah bersama dengan berbagai lembaga, sudah berusaha melakukan sosialisasi kepada beberapa pengelola gedung pusat perbelanjaan, khususnya di Jakarta.

Akan tetapi, jumlah pengelola yang menyatakan kesiapannya untuk mendukung gedung perbelanjaan yang bersih 100 persen dari produk bajakan masih sangat sedikit. Di Jakarta saja, contohnya, baru ada satu pusat perbelanjaan yang menyatakan kesiapannya. Parlagutan mengungkapkan bahwa pusat perbelanjaan tersebut terletak di daerah Senayan dan cukup ternama.

“Padahal, masyarakat kalau ke tempat yang menyatakan itu (bersih 100 persen), pengguna tidak akan merasa tertipu mendapatkan produk bajakan dan yakin mendapatkan barang dengan kualitas yang baik (karena asli),” kata Parlagutan. Selain pasal tersebut, ada satu pasal baru lainnya yang dianggap bisa membuat jera para penjual produk bajakan, yakni UU Haki No 28 tahun 2014 pasal 113 ayat 3. Isi pasal itu sendiri sebenarnya sudah cukup lama. Intinya, satu individu atau pedagang dilarang untuk menjual produk bajakan. Dalam revisi pasal ini, pemerintah meningkatkan jumlah denda. Seseorang yang dianggap melanggar pasal tersebut akan dikenakan denda hingga Rp 1 miliar atau kurungan empat tahun.

“Jumlah denda di UU baru ini telah meningkat dua kali lipat dari sebelumnya,” bebernya.

Dampak negatif produk software bajakan bagi negara

Di Indonesia, produk yang paling banyak dibajak adalah software. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dengan Makara Mas Universitas Indonesia, perangkat lunak menempati peringkat pertama, sebanyak 33,5 persen, sebagai produk yang paling sering dibajak. Meski belum memiliki data pastinya, Parlagutan mengaku pemerintah mengalami kerugian cukup besar akibat produk software bajakan tersebut.

Sebuah produk software, jelasnya, seharusnya dijual dengan pajak. Karena software bajakan merupakan produk tidak resmi, sudah pasti produk tersebut tidak akan dikenakan pajak. Pemerintah tentunya mengalami kerugian dari sisi ini. “Kalau software asli, bakal kena pajak, berarti menjadi pemasukan bagi kas negara. Kalau tidak ada, berarti tidak ada pemasukan bagi negara,” kata Parlagutan.

Sumber :

http://tekno.kompas.com/read/2015/03/02/11410067/Jual.Software.Bajakan.Mal.Bisa.Didenda.Rp.100.Juta

http://tekno.kompas.com/read/2015/05/13/15460027/Pedagang.Jual.Software.Bajakan.Pengelola.Gedung.Ikut.Dipidana

Sulistyo Heripracoyo