Pemilu dan e-KTP (Antara harapan dan kenyataan)
(Ciliwung). Tanggal 9 April 2014 dan 9 Juli 2014 lalu bangsa Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi yang berskala nasional. Pesta tersebut adalah pesta dimana masyarakat atau warga negara yang telah berusia 17 tahun ke atas dapat memilih presiden dan para wakil rakyat yang akan duduk di dalam kursi DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan yang diinginkannya, baik secara Langsung, Umum, BEbas dan Rahasia (LUBER). Jika terpilih (memiliki batasan minimal jumlah pemilih), mereka akan mewakili daerah sesuai dengan daerah dimana para pemilih tersebut berada. Selain itu, mereka diharapkan juga akan dapat menjadi penentu masa depan daerah maupun negaranya kedepan melalui hak suara yang dimilikinya didalam lembaga dewan yang didudukinya. Untuk memperoleh hak suara yang maksimal, mereka memerlukan para pemilih yang sebelumnya telah terdaftar berdasar KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau e-KTP (elektronik Kartu Tanda Penduduk) didalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang telah ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) jauh-jauh hari sebelum pesta tersebut dilaksanakan, (Sumber, KPU.com, 2014).
Namun untuk diketahui, bahwa sampai saat ini belum semua warga negara belum memiliki KTP sesuai dengan e-KTP dimaksud. Saat ini umumnya, masyarakat masih banyak yang menggunakan KTP lama (non e-KTP) sebagai bukti kegiatan sehari-hari dimana penduduk tersebut tinggal dan menetap. Dengan adanya sebagian masyarakat yang belum memiliki e-KTP, akan sedikit banyak berdampak pada semakin ruwet dan morat-maritnya penetapan DPT oleh KPU dalam pemungutan suara yang dilakukan. Selain itu perpindahan penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) atau migrasi antar pulau, juga akan menjadi salah satu dari berbagai kendala dalam mengetahui adanya penduduk dan jumlahnya didalam suatu daerah tersebut berada dan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu dikemudian hari. Akibatnya, kesalahan (error) baik dalam pengiriman maupun penghitungan surat suara yang dilakukan kemudian akan rentan bahkan mudah untuk dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Untuk mengatasi berbagai hal tersebut diatas, perlu bagi pemerintah untuk lebih serius dalam mengelola e-KTP dan sebenar – benarnya KTP, bukan KTP asal KTP (seperti saat ini) tapi KTP yang dapat digunakan dalam berbagai kegiatan, baik itu yang bersifat internal maupun eksternal. Mulai dari perencanaan, bagaimana bentuk dan jenis KTP dimaksud (apakah dengan chip, bukan dengan hologram, bisa digunakan untuk online checking system dll), bagaimana pengadaannya dan siapa yang mengadakannya (lelang terbuka, dsb), hingga sampai dengan pendistribusian disetiap kelurahan diseluruh pelosok Indonesia.
Kenapa kita tidak berusaha memaksimalkan yang sudah ada, minimal mencontoh negara lain yang sudah melakukannya puluhan tahun kebelakang (dalam hal ini tetangga terdekat kita, Australia), dimana mereka sudah membuat sistem, dimana pemilihnya, cukup memasukkan KTP-nya kedalam suatu alat yang terkoneksi (mis. EDC) antar negara bagian yang ada dan terpusat pada lembaga tertinggi yang mengatur dan menghitung pemilihan tersebut (sumber http://www.youtube.com/watch?v=FgL-x1mtA0Q).
Ada apa dengan Negara ini, ada apa dengan semuanya. Saya hanya berharap bahwa harapan yang diimpikanakan menjadi kenyataan. Entah kapan …