School of Information Systems

RUMITNYA PENANGANAN E-WASTE

Rumah tangga ataupun pribadi seseorang saat ini sudah tidak akan terlepas dari kebutuhan peralatan listrik maupun elektronik untuk meningkatkan produktifitas kerja maupun kenyamanannya. Semakin manusia tergantung dengan peralatan yang membutuhkan listrik maka semakin banyak pula limbah barang listrik dan elektronik (e-waste) yang dihasilkan. Saat ini limbah barang listrik dan elektronik menjadi masalah besar di banyak Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Limbah ini mampu mencemari lingkungan karena padanya terdapat unsur-unsur yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti timbal, arsen, air raksa, dsb. Masalah limbah barang listrik dan elektronik ini di satu pihak bisa merugikan manusia tetapi bila manusia atau Negara mampu menangani dengan baik maka limbah ini bisa menghasilkan produk yang punya nilai ekonomis. Contohnya, di Jerman dengan teknik elektrolisa dan proses peleburan yang benar maka limbah akan bisa menghasilkan emas (dari chip), tembaga (dari kabel), pipa logam berkualitas tinggi (dari kotak CPU dan barang lain yang terbuat dari logam).

Apakah limbah barang listrik dan elektronik (e-waste) itu?

Sebuah organisasi internasional yaitu OECD (The organization for Economic Co-operation and Development) mendefinisikan electronic waste (e-waste) sebagai setiap peralatan rumah tangga yang membutuhkan sumber daya listrik yang telah mencapai umur teknisnya, yang artinya peralatan tersebut bisa saja sebagai komputer personal, televisi, telepon genggam, dan berbagai produk konsumen lainnya.

Kalau begitu bagaimana kita harus menangani limbah barang listrik dan elektronik ini? Nina Godbole, seorang peneliti dari IBM India, membuat sebuah kerangka kerja yang menggambarkan bagaimana kebijakan limbah ini harus ditangani.

ewaste

Kerangka kerja dalam pembuatan kebijakan e-waste (sumber: Nina Godbole dalam Handbook of Research on Green ICT, Vol. 1, 2011)

Dari pemetaan yang Nina buat, ternyata banyak sekali pihak yang terlibat  agar kebijakan yang akan dibuat menjadi komprehensif. Demikian luas dan besarnya keterkaitan yang ada sehingga memerlukan tekad yang besar untuk mau bekerja sama agar kebijakan penanganan limbah yang ramah lingkungan dapat dihasilkan.

Pengumpul limbah harus mempunyai catatan atas transaksi yang terjadi, panduan keamanan untuk karyawannya dan kepatuhan terhadap peraturan tertentu. Begitu juga dengan pengolah limbah selain memeprhatikan tiga hal di atas harus memperhatikan juga memperhatikan system pembuangan yang aman dari bahn-bahan yang berbahaya. Bila kita fokuskan pada sisi pengguna (baca kita sendiri) maka yang harus diperhatikan adalah biaya untuk daur ulang, pembuangan pada pusat pengumpul dan pembelian produk-produk yang berlabel ramah lingkungan. Masih banyak lagi pihak-pihak yang terkait namun bukan menjadi bahan bahasan pada tulisan ini.

Kita sebagai pengguna produk atau peralatan system dan teknologi informasi tentunya perlu memperhatikan hal ini karena jangan sampai kita membeli peralatan teknologi informasi yang hanya memikirkan harga pembelian yang murah tetapi sulit untuk didaur ulang. Sudah seharusnya perguruan tinggi memulai dan memberi contoh untuk mengadakan tata cara pengadaan, penggunaan dan membuang peralatan teknologi informasi dengan cara yang benar yaitu dengan membeli produk yang ramah lingkungan.