Apakah Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Melambat Berdampak Pada Menurunnya Peminat Studi SI/TI?
Beberapa bulan lalu tetapi masih di tahun 2014, Sudev Bangah seorang petinggi IDC Singapura menyatakan bahwa pertumbuhan GDP Indonesia untuk tahun 2012 – 2013 melambat dan tercatat hanya 6,02%. Neraca perdagangan defisit sebesar US 1,6 milyar hanya di bulan April 2013. Apa artinya angka-angka di atas untuk investasi SI/TI?
Terkait dengan angka tersebut akan terlihat dengan jelas pengaruhnya pada investasi di bidang SI/TI oleh banyak perusahaan di Indonesia. Pada akhir tahun 2012 penjualan produk SI/TI hanya mencapai US $ 13,05 milyar yang pada awal tahun diprediksi akan mencapai US $ 15,8 milyar. Investasi tersebut ternyata banyak dihabiskan pada peralatan untuk client (dengan pertumbuhan 30%) dan layanan SI/TI (dengan pertumbuhan 22%).
Bila dibandingkan dengan tahun 2013 diperkirakan investasi SI/TI akan mencapai US $ 14,7 milyar dan investasi sebesar itu banyak dihabiskan untuk pembelian perangkat keras dan untuk penggunaan teknologi baru seperti Cloud, Virtualisasi, Peningkatan Layanan Pusat Data serta Mobility.
Dari angka-angka di atas terlihat jelas keterkaitan antara pertumbuhan yang melambat pada GDP berpengaruh langsung terhadap investasi SI/TI. Meskipun kebutuhan organisasi pemerintah maupun swasta akan komputasi meningkat tetap saja kebutuhan tersebut tidak bisa dipenuhi sepenuhnya karena dana untuk itu juga terbatas.
Besarnya belanja SI/TI bisa jadi berupa barang konsumsi seperti tablet, iPhone, dsb yang sedang diminati oleh masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Sampai-sampai anak berusia 4 atau 5 tahun dibekali perangkat ini oleh para orang tua mereka dengan berbagai alasan dan kepentingan. Kalau kita tengok café atau restoran banyak juga para ibu yang menggunakan perangkat ini baik untuk kepentingan bisnis, mengakses informasi maupun bermain. Pengguna dari lapisan ini sebenarnya kurang produktif karena tidak memberikan nilai tambah sama sekali.
Di sisi lain, perusahaan penerbangan Indonesia yaitu Lion Air beberapa tahun yang lalu telah melakukan kontrak pembelian 240 pesawat penumpang kelas menengah dari Boeing dan kemudian dilanjutkan dengan pembelian 243 pesawat dari kelas yang sama dari Airbus. Pembelian itu berjangka panjang dalam arti hampir selama 20 tahun setelah penyerahan pertama, kedua perusahaan pesawat terbang harus menyerahkan sebuah pesawat per bulannya kepada Lion Air. Sampai sekarang pembelian jumlah pesawat yang sangat besar ini membuat perusahaan Boeing mampu membuka lapangan kerja sebanyak puluhan ribu orang teknisi dan akan bekerja tetap untuk waktu paling kurang sampai 10 tahun mendatang. Begitu juga dengan Airbus. Tentu saja terbukanya lapangan kerja ini membuat negara pembuat pesawat terbang terbantu ekonominya.
Kebutuhan akan armada pesawat terbang yang besar ini dikarenakan adanya dugaan bahwa Negara Indonesia sampai beberapa belas tahun ke depan akan meningkatnya kebutuhan transportasi udara di dalam negeri. Menurut para pakar, mestinya adanya pengembangan armada yang begitu besar diperkirakan akan bisa membuka lapangan kerja 350 sampai 500 ribu orang. Tentunya diantara ratusan ribu lapangan kerja itu pasti ada bisnis yang terkait dengan SI/TI dan sangat membutuhkan bantuan tenaga ahli di bidang itu.
Investasi SI/TI dan investasi di bidang armada pesawat terbang ternyata dampaknya tidak begitu terasa kepada masyarakat. Tidak dirasakan kenaikan lapangan kerja secara nyata akibat investasi yang besar ini padahal masyarakat Indonesia sangat membutuhkan. Para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di bidang SI/TI berpikir ulang, selain mungkin berbiaya mahal kemampuan sang anak untuk menempuh bidang ini tentunya juga perlu diperhitungkan serta lapangan kerja di bidang SI/TI yang makin menyempit.
Sampai saat ini penulis masih belum mendapat jawaban atas dua hal yang dipaparkan di atas terkait dengan menurunnya calon mahasiswa untuk mengambil bidang SI/TI sebagai pilihan profesinya. Yang penulis khawatirkan, Indonesia hanyalah dipakai sebagai ajang pasar dari produk teknologi canggih tanpa mampu memanfaatkan dengan baik peluang dalam bentuk lapangan kerja yang terbuka dan harus direbut itu.