School of Information Systems

Bekerja dari Rumah, Apakah Mungkin?

Setiap hari Jakarta diserbu sekitar 2,5 juta komuter dari daerah sekitar Jakarta, selain 9,6 juta penduduk di Jakarta yang berangkat menuju tempat kerjanya. Ini berarti 25% orang dariluar Jakarta memasuki wilayah Jakarta. Sistem transportasi yang kurang terarah menambah keruwetan masalah kemacetan di ibukota ini. Setiap jam masuk maupun jam pulang, jalan-jalan arteri bahkan jalan tol dipenuhi oleh kendaraan yang akan masuk atau keluar Jakarta. Sampai kapan hal ini akan terjadi? Kita tidak akan pernah tahu.

Dengan berbagai permasalahan dan tantangan di ibukota Indonesia ini, salah satu solusi yang ditawarkan adalah sistem bekerja dari rumah, atau yang biasa disebut sebagai telecommuting atau teleworking. Sistem telecommuting ini diharapkan dapat mengurangi aktifitas para komuter yang setiap hari harus bergelut dengan sesama komuter lain di atas bus atau kereta api, atau dengan kendaraan pribadi. Sistem ini telah dikenal sejak tahun 1980an dan semakin hari semakin banyak perusahaan di negara maju menggunakannya. Sedikitnya 10% – 20% pekerja di Inggris dan Amerika adalah pekerja jarak jauh atau telecommuter. Bahkan menurut prediksi Forrester, tahun 2009 – 2016 pekerja di Amerika, 43% nya adalah telecommuter.

Pada dasarnyatelecommuting memiliki aspek keuntungan dan kerugian. Bagi individu, system ini memiliki jam kerja yang flexible, tidak ada batasan waktu karena semua pekerjaan dilakukan di rumah, dengan demikian waktu untuk keluarga dapat lebih ditingkatkan. Biaya transportasi dan waktu yang terbuang dalam perjalanan ke kantor dapat dihemat. Namun konsekuensi lain adalah perasaan terisolasi, tidak bisa bersosialisasi dengan sesama karyawan, tidak dapat memisahkan urusan keluarga dan pekerjaan. Butuh self-discipline karena tidak ada pengawasan secara langsung.

Bagi perusahaan, modelteleworking ini dapat meningkatkan produktifitas karyawan, karena mereka dapat melakukan lebih banyak dengan waktu yang lebih lama tanpa ada perasaan tertekan. Lebih menghemat ruang kantor, penghematan biaya operasional lainnya seperti listrik, computer dan infrastruktur lainnya. Sebaliknya bagi perusahaan yang menggunakan pola manajemen terpusat, hal ini sulit dilakukan, karena koordinasi dan kontrol yang intensif sangat dibutuhkan. Membutuhkan teknologi video conference yang sangat canggih untuk dapat memenuhi kebutuhan ini. Perlu adanya prosedur dan perubahan cara kerja, masalah legal yang rumit, proses dan pengakuan cuti, kinerja dan lainnya.

Bagi masyarakat, tentunya mengacu pada masalah di awal tulisan ini, yaitu berkurangnya kemacetan. Solusi bagi karyawan yang memiliki kebutuhan khusus, seperti tuna netra, tuna daksa, mereka bisa bekerja dari rumah, karena keahlian mereka tidak membutuhkan kehadiran, namun ketersediaan (availability) dari keahlian yang mereka miliki. Ini berarti membuka peluang kerja yang lebih luas dan menjawab kebutuhan sosial selama ini. Namun hal ini dapat mengakibatkan suatu masyarakat yang sangat individualis, terpisah-pisah, karena kebanyakan interaksi mereka melalui jaringan dan dunia maya sehingga interaksi antar penduduk dalam komunitas lebih jarang.

Melalui fakta dan informasi ini, dapat disimpulkan bahwa mengubah system kerja dari konvensional menjadi telecommuting atau teleworking adalah tidak mudah. Butuh komitmen diantara ketiga pihak yang menjalankan atau merasakannya, yaitu individu atau karyawan itu sendiri, perusahaan dan masyarakat. Namun dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan mendesak bagi sebuah kota yang terhimpit masalah kemacetan seperti di Jakarta, perlu adanya pionir yang mau mencoba untuk mengubah pola kerja dalam perusahaan mereka.