E-government In Indonesia: Political Challenges
Implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau GovTech atau e-Goverment menuntut perubahan mendasar diberbagai sisi. SPBE bukan hanya mengakomodir kebutuhan administrative bukan hanya semata teknologi tetapi juga melibatkan banyak aspek lainnya. Misalnya, aspek politis yang sangat berperan dalam keberhasilan inisitatif SPBE ini. Birokrasi yang kuat dan mapan memiliki struktur dan budaya yang telah tertanam dalam jangka waktu yang panjang, dapat membuat perubahan menjadi sulit dilakukan. Belum lagi kepentingan politis dari pimpinan. Tulisan ini mencoba menghighlight beberapa tantangan disisi politis.
Pertama, political will dan leadership menjadi tantangan politis tersediri. Dibeberapa daerah, kepemimpinan yang berkomitmen terhadap SPBE menunjukkan peningkatan pelayanan publik, meningkatkan efisiensi birokrasi, dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa dukungan yang kuat dari para pemimpin politik, sulit untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam infrastruktur, kebijakan, dan budaya organisasi yang diperlukan untuk e-government. Kepemimpinan yang efektif sangat penting dalam mengarahkan dan mengelola implementasi SPBE. Akan tetapi, perbedaan pilihan politik terkadang juga menjadi sandungan dimana pimpinan cenderung untuk menciptakan legasinya sendiri dengan meniadakan karya yang dibuat oleh pimpinan sebelumnya. Salah satu daerah yang dianggap sukses dalam implementasi e-government adalah Kabupaten Banyu wangi dimana ada kesinambugan penerapannya. Para pemimpin di tingkat nasional dan lokal perlu memimpin dengan teladan, memotivasi pegawai, dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama dalam pengembangan dan pelaksanaan proyek e-government. Lebih lanjut, stabilitas politis juga perlu juga digarisbawahi dimana ketidakstabilan politik, seperti perubahan pemerintahan, konflik politik, atau ketidakpastian kebijakan, dapat menjadi hambatan serius dalam implementasi e-government. Perubahan prioritas yang menyebabkan e-government harus bersaing dengan kegiatan lainnya dalam memperoleh anggaran.
Kedua, koordinasi antar Lembaga menjadi tantangan disisi politis karena Indonesia memiliki struktur pemerintahan yang terfragmentasi dan terdesentralisasi. Negara Indonesia terdiri dari berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki otonomi sendiri. Masing-masing tingkat pemerintahan memiliki otonomi atau kewenangan dan tanggung jawabnya sendiri, yang menciptakan potensi untuk tumpang tindih, duplikasi, dan ketidaksesuaian dalam kebijakan dan program yang dilaksanakan. Otonomi daerah memberikan fleksibilitas kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokal, hal ini juga dapat menyebabkan ketidakseragaman dan koordinasi yang minim dalam implementasi e-government di berbagai daerah.
Ketiga, resistansi birokrasi menjadi tantangan berikutnya yang dapat timbul karena kekuatiran akan kehilangan pekerjaan atau kekuasaan. Banyak pegawai negeri yang telah terbiasa dengan proses manual dan rutin dalam menjalankan tugas mereka. Pengenalan sistem e-government yang otomatis dan efisien dapat dianggap sebagai ancaman terhadap posisi dan keberadaan mereka serta mengurangi “rezeki” yang mungkin dapat diperoleh dengan system yang berjalan. Mereka mungkin merasa tidak nyaman dengan perubahan yang mengubah cara mereka bekerja, dan sebagai hasilnya, mereka mungkin menunjukkan penolakan secara aktif atau pasif terhadap adopsi teknologi baru. Selain itu, resistansi birokrasi juga dapat timbul karena ketidakpastian tentang peran dan tanggung jawab dalam lingkungan kerja yang berubah. Implementasi SPBE sering kali melibatkan restrukturisasi organisasi, penghapusan duplikasi pekerjaan, dan redistribusi tanggung jawab. Pegawai mungkin khawatir bahwa perubahan tersebut akan mengganggu stabilitas pekerjaan mereka atau bahkan mengancam keberlangsungan karier mereka. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian dan kekhawatiran, yang pada gilirannya dapat memperkuat resistansi birokrasi. Selain faktor internal, faktor eksternal juga dapat memengaruhi resistansi birokrasi. Misalnya, adanya kepentingan politik atau kekuatan lobi di balik sistem yang ada dapat menghambat upaya perubahan. Kelompok-kelompok tertentu mungkin memiliki keuntungan dari status quo dan mungkin berusaha untuk mempertahankannya dengan mendorong resistansi terhadap reformasi birokrasi.
Keempat, korupsi dan transparansi masih menjadi tantangan besar di negara kita ini sehingga menyebabkan ketidakefisienan pemerintahan, akuntabilitas yang rendah dan kemudian berujung pada ketidakpercayaan Masyarakat kepada pemerintah. Semestinya, implementasi SPBE ini dapat meningkatkan transparansi dan mengurangi terjadinya korupsi. Terlalu sering kita mendengar kesulitan masyarakat dalam memperoleh sepucuk surat administratif kemasyarakatan. Kalau urusan bisa sulit kenapa harus dipermudah. Juga tidak sedikit yang masih mencoba mempertahankan status quo dengan system yang tradisional. E-gov yang semestinya membuat urusan lebih transparan dan mudah, justru menjadi ajang untuk menguras anggaran dengan hasil yang tidak terlihat dan termanfaatkan masyarakat.
Tantangan inisiatif SPBE disisi politis ini tidak terbatas pada penjelasan diatas. Membangun kesadaran bagi semua pihak utamanya dari pihak pemerintah akan pentingnya GovTech dapat membantu mengurangi kekhawatiran birokrasi tentang perubahan tersebut. Selanjutnya, penting untuk memastikan bahwa proses implementasi e-government dilakukan secara transparan dan inklusif. Dengan mengajak seluruh stakeholders, termasuk masyarakat sipil dan sektor swasta, untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan evaluasi proyek e-government, dapat membantu membangun dukungan yang lebih luas dan mengurangi resistansi terhadap perubahan. Terakhir, penting untuk memiliki strategi komunikasi yang efektif untuk menjelaskan tujuan, manfaat, dan kemajuan proyek e-government kepada semua stakeholders. Komunikasi yang jelas dan terbuka dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan spekulasi yang mungkin memperkuat resistansi birokrasi.