Mengenal Teknologi Imersif
Belakangan istilah teknologi Imersif mulai dikenal yang menggambarkan teknologi yang mengaburkan batasan antara dunia nyata dan dunia digital. Terkadang, istilah ini juga dikaitkan dengan lingkungan virtual (virtual environment) yang menggabungkan dunia nyata dan dunia maya. Teknologi ini diprediksi akan memiliki dampak yang signifikan di kehidupan manusia saat ini dan ke depan. Bahkan penggunaan teknologi imersif sudah mulai mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Termasuk di dalamnya teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR) dan Mixed Reality (XR).
Teknologi VR digunakan sebagai sarana simulasi dari, misalnya, pesawat terbang. Calon Pilot pesawat seolah-olah benar-benar berada pada lingkungan penerbangan yang nyata. Juga penggunaan virtual 3D prototyping sangat membantu dalam tahap awal pembuatan suatu produk, desain bangunan ataupun simulasi suatu terowongan. Di dunia Pendidikan, teknologi AR membuka peluang pengembangan media ajar diberbagai bidang. Ambil contoh bidang kedokteran dimana proses pemeriksaan sebelum dilakukan operasi dengan menggunakan CT Scan atau MRI. Dampaknya, ahli bedah dapat lebih mengenal anatomi pasien secara detail sehingga mengurangi dampak kegagalan dari operasi yang akan dilakukan. XR menggabungkan kedua teknologi tersebut.
Gartner menggarisbawahi beberapa teknologi yang perlu menjadi perhatian dan akan menjadi teknologi imersif meliputi Metaverse, Super apps dan Web3. Tulisan ini mencoba menyoroti lebih dalam ketiga istilah tersebut dengan harapan menambah pemahaman terhadap hal-hal tersebut.
Metaverse
Jika dikenal istilah Universe dikenal untuk menggambarkan alam semesta beserta isinya, istilah Metaverse juga menggambarkan hal yang sama tetapi dalam konsep digital. Idenya, terdapat alam semesta digital yang terdiri dari komunitas virtual yang terhubung satu dan lainnya. Disana, orang orang akan diwakili oleh karakter digital yang dikenal dengan istilah Avatar untuk dapat beraktivitas, ngantor, bermain, berolahraga, belajar, belanja atau apapun lainnya.
Beberapa pemain besar di dunia Teknologi berusaha menciptakan Metaversenya. Sebut saja raksasa sosial media Facebook yang merubah nama perusahaannya menjadi Meta sebagai komitmen pengembangan Metaverse yang kemudian diberi nama Horizon worlds. Proyek ini berakhir jauh dari harapan semula dengan menimbulkan kerugian yang sangat dalam bagi Meta.
Tidak seperti Meta, beberapa pemain lainnya cukup sukses dalam bisnis ini. Harus diakui metaverse ini menciptakan keuntungan besar bagi entitas didalamnya. Dunia gaming menciptakan komunitas virtualnya sendiri sehingga tidak mengherankan perusahaan besar di dunia juga menciptakan sendiri metaversenya. Pertama, Tencent sebagai contohnya dan juga pemilik beberapa games ternama (PUBG, Crossfire dan Dungeon Fighter) dengan lebih dari 3.5 milyar akun pemain. Kedua, Microsoft yang dikenal sebagai penyedia perangkat lunak juga ikut bermain di industry ini. Microsoft sendiri bukan pemain baru di industry gaming dengan produk Minecraft dan Xbox. Ketiga, games yang popular dikalangan anak-anak selain Minecraft adalah Roblox. Roblox menyediakan penggunanya untuk menciptakan lingkungan digital dan interaktinya sendiri. The last but not the least adalah Nvidia yang dikenal sebagai penyedia GPU. Platform Omniverse yang diperkenalkan oleh nVidia memungkinkan tampilan 3D menjadi lebih real dan menarik yang menjadi modal penting dari Metaverse.
Super Apps
Baru-baru ini pemerintah melalui mentri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewacanakan Super Apps yang menggabungkan aplikasi-aplikasi yang dikembangkan secara mandiri oleh masing-masing sektor dan pemerintahan daerah kedalam super apps. Terbayang, ribuan aplikasi yang tersebar dan redudansi di berbagai sektor dan level pemerintahan akan menjadi terintegrasi. Benefitnya pasti banyak, mulai dari penghematan biaya, memudahkan maintenance dan tentunya memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan yang disediakan oleh pemerintah. Meskipun, jalan menuju Super apps pemerintahan ini akan sulit, terjal dan berbatu. Ego sektoral dan kepentingan berbagai pihak bukan hal mudah yang harus dibongkar jika memang Superapps pemerintah ini mau di wujudkan.
Terlepas dari wacana itu, Super-apps merupakan aplikasi yang mengkonsolidasi dan akhirnya menggantikan aplikasi tunggal yang digunakan oleh pengguna untuk mendukung terciptanya suatu ekosistem tertentu. Gartner memprediksi lebih dari 50% penduduk bumi akan menjadi pengguna berbagai super apps ditahun 2027 nanti. Selain menyediakan serangkaian fitur yang dapat diakses pengguna, Super apps juga memiliki kemampuan bagi penggunanya untuk melakukan kustomisasi sehingga tercipta miniaps. Dampak yang paling terasa penggunaan super-apps adalah one-stop-apps untuk layanan yang dibutuhkan oleh pengguna termasuk urusan transaksi finansial.
Di Indonesia, beberapa Super-apps tercatat digunakan oleh masyarakat umum seperti Aplikasi Gojek dan Grab. Awalnya kedua aplikasi itu menyediakan layanan untuk ride-sharing kemudian berkembang kepada layanan-layanan lainnya. Dibidang pemerintahan ada Aplikasi Jaki yang digunakan oleh pemerintah Jakarta sebagai sarana untuk memberi layanan kepada masyarakatnya. Industripun tidak lepas melakukan konsolisasi aplikasi yang mereka gunakan, salah satunya perusahaan tambang Batubara Bukit Asam dengan memperkenalkan CISEA (Corporate Information System and Enterprise Application) untuk berbagai kebutuhan informasi pertambangan berbasis web dan selular.
Web3
Teknologi Internet menjadi enabler bagi berkembangnya teknologi lainnya. Seperti Metaverse dan Super-apps, Web3 juga menggunakan Internet sebagai highway dari teknologi imersif ini. Web3 merupakan pondasi dari teknology blockchain yang terdistribusi dan terbuka.
Istilah Web3 berbeda dengan Web3.0. Untuk lebih memahami perbedaannya, kita coba tengok evolusi dari teknologi Web. Web 1.0 diperkenalkan di tahun 1989 oleh Tim Berners-Lee yang hanya menyediakan fungsi dasar Web, seperti menampilkan informasi statis dan satu arah. Tuntutan akan tampilan yang interaktif dan kaya fitur menginspirasi munculnya Web 2.0 yang mulai popular di 2004. Teknologi Web 2.0 memungkinkan konten yang di-generate oleh pengguna, sehingga menginspirasi munculnya platform media social yang dikenal saat ini, seperti Facebook, Instagram, Tiktok dan lainnya. Teknologi web 2.0 ini mendominasi platform web saat ini dan juga dikenal sebagai “web as a platform”. Hal ini juga menjadi awal dari pengembangan aplikasi-aplikasi berbasis selular. Web 3.0 diperkenalkan sebagai generasi lanjut dari teknology web dan juga dikenal dengan Semantic web. Internet diharapkan menjadi lebih cerdas sekaligus menjadi agen pintar untuk interoperabilitas antar platform yang berbeda sehingga pengguna tidak perlu menginput informasi yang sama di platform yang berbeda.
Web3 menjadi sesuatu yang berbeda. Ide dari teknologi ini untuk menghilangkan dominasi dari raksasa seperti Amazon, Facebook dan semacamnya untuk menguasai data dan menyerahkan kembali kontrol data kepada pemiliknya. Lekat dengan Web3 adalah penggunaan teknologi blockchain, penyimpanan yang tersebar dan kedaulatan terhadap identitas sendiri dalam environment yang digerakan komunitas. Contoh implementasinya pada Non-Fungible Token (NFT) dan dompet mata uang crypto (seperti MetaMask dan Trust Wallet) dimana masing-masing pengguna memegang key untuk data dan identitasnya. Jadi sangat jelas perbedaan Web3 dan Web3.0 dimana yang pertama lebih menekannya pada keamanan dan penguasaan data oleh pemiliknya, Web 3.0 fokus pada efisiensi dan kecerdasan untuk me-reuse dan mengintegrasikan data. Persamaan keduanya, mereka membuat Internet menjadi lebih baik at least begitu harapan pengguna Internet.