Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Indonesia: Wacana Super Apps
Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah melalui Kementrian Kominfo mewacanakan akan mengembangkan Super Apps untuk mengakomodir baik kebutuhan operasional pemerintahan maupun peningkatan layanan. Sebelumnya, Menteri Keuangan juga mengeluhkan banyaknya aplikasi yang dikembangkan dan menyedot banyak anggaran. Belum lagi tiap-tiap daerah mengembangkan aplikasi sejenis dan relatif sama dan ini ditambah tiap-tiap departemen pemerintahan mengembangkan juga aplikasinya sendiri. Melalui tulisan ini kita mencoba mengenal lebih dekat dengan Super Apps secara umum dan melihat tantangan penerapannya.
Sesuai dengan namanya, Super Apps merupakan aplikasi yang menyediakan atau mengkonsolidasi banyak layanan dalam satu platform aplikasi. Istilah ini sendiri awalnya diperkenalkan oleh pendiri Blackberry Mike Lazaridis di tahun 2010 dimana diharapkan Super Apps menyediakan layanan yang seamless dan efisien bagi pengguna. Super Apps biasanya hadir dalam bentuk mobile, web ataupun kombinasi keduanya. Pengguna diuntungkan dengan adanya aplikasi ini karena dengan satu aplikasi yang berarti sekali login, sekali install, sekali input data, pengguna dapat memperoleh banyak layanan. Pengguna tidak direpotkan lagi untuk menginstall banyak aplikasi untuk memperoleh layanan tertentu. Aplikasi one-stop atau layanan satu pintu mungkin dapat digunakan istilah lain dari Super Apps.
Sebelum lebih jauh membahas Super Apps, ada baiknya kita memahami adanya aplikasi single purpose atau aplikasi fungsi tunggal. Sebagian orang menyebut juga menyebutnya sebagai standalone app yang memiliki fungsi khusus. Contohnya, mungkin kita telah familiar dengan aplikasi Twitter, Facebook, Instagram, Zoom ataupun Netflix. Aplikasi tersebut ini masuk dalam kriteria aplikasi single-purpose dengan nilai proposisinya masing-masing. Facebook dan Instagram menjadi tools yang memiliki nilai proposisi untuk dapat memfasilitasi komunikasi secara efisien antar penggunanya sekaligus tempat berbagi momen. Twitter, yang baru-baru ini diakusisi oleh Elon Musk yang kemudian bertransformasi menjadi “X”, banyak digunakan untuk mengakomodir percakapan melalui dunia maya dan terkadang menjadi tempat ajang perdebatan di dunia maya dengan istilah Twitwar. Netfix yang sangat popular di masa Pandemi Covid, merupakan aplikasi layanan streaming video. Aplikasi yang juga populer di masa pandemi adalah Zoom. Aplikasi ini turut andil dalam mengakselerasi virtual meeting dan learning. Tidak jarang orang menggunakan istilah Zoom untuk menunjukkan kegiatan Video Conference meskipun tidak menggunakan aplikasi tersebut. Kita akan menjadi saksi bagaimana aplikasi-aplikasi ini akan berkembang menjadi Super Apps di hari-hari ke depan.
Awalnya, Super Apps berkembang di Cina dengan WeChat dan Alibaba. Selanjutnya, Super Apps tumbuh diberbagai tempat seperti Line di Jepang, KokaoTalk di Korea dan Gojek di Indonesia. Kesamaan dari aplikasi ini, mereka merangkum dan menghimpun banyak layanan ke dalam satu platform aplikasi. Mereka menjadi aplikasi tunggal dengan banyak fungsi, single apps with multipurpose function. Istilah layanan satu atap, maka Super Apps menjadi layanan
satu apps. Gojek diawalnya hanya merupakan ridesharing, berkembang menjadi one-stop layanan, sebut saja layanan pemesanan makanan, tiket, pengiriman dan lainnya. Selanjutnya, Gojek menciptakan ‘uang’nya sendiri bernama Gopay untuk menfasilitasi transaksi finansial digital. Ekosistem yang Super Apps ciptakan biasaya bersifat horizontal dan umumnya dominan di wilayah tertentu. Dominasi ini terkadang menciptakan monopoli karena strategi yang mereka lakukan untuk menyingkirkan pesaing bisnisnya.
Tentunya Super Apps ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan aplikasi fungsi tunggal. Pertama, pengguna tidak perlu direpotkan dengan harus memiliki banyak aplikasi di dalam perangkatnya untuk layanan yang mereka inginkan. Tentunya ini juga berdampak dengan mengurangi kerepotan untuk memiliki akun dan mengingat password yang berbeda dalam setiap aplikasinya. Kedua, sharing data antara mini apps dalam Super Apps tersebut memberikan keuntungan dari sisi pengalaman pengguna dan pengembangan strategi marketing. Pengguna mendapatkan penawaran menarik berbagai produk maupun layanan berdasarkan interaksi dan preferensinya dengan aplikasi tersebut. Meskipun terkadang hal ini menjadi fitur yang agak mengganggu. Selanjutnya, data yang dikumpulkan dari interaksi pengguna menjadi masukan berharga untuk pengembangan bisnis maupun penetapan strategi promosi. Keuntungan ketiga datang dari sisi teknis dimana terdapat penghematan ruang penyimpanan dan memori perangkat yang digunakan pengguna. Tidak jarang, Super Apps menyediakan fasilitas akses ke layanan pihak ketiga tanpa harus keluar ataupun menginstall aplikasi terpisah lainnya. Contoh dari hal ini adanya akses ke PeduliLindungi, misalnya dalam Gojek, sewaktu aplikasi ini diwajibkan oleh pemerintah untuk memasuki tempat-tempat keramaian sebagai bagian dari program tracing semasa pandemic Covid.
Apakah layanan satu aplikasi ini dapat diterapkan oleh pemerintah melalui program e-Gov atau SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik)? Ini menjadi pertanyaan menarik. Tentunya bukan hal yang mustahil meskipun tidak mudah. Berdasarkan laporan UN e-Government Surveys tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke 77 dalam pengembangan dan pelaksanaan e-Government. Dalam hal ini, Negara Denmark, Filandia dan Korsel menduduki tiga besar. Artinya banyak negara yang dapat dijadikan rujukan untuk penerapannya. Dalam keterangannya setelah pertemuan dengan Qualcomm di bulan Agustus 2022 lalu, Menteri Kominfo menyatakan keinginannya menyatukan 24.000 aplikasi menjadi 8-10 Super Apps. Banyak pihak yang meragukan hal ini. Dibutuhkan dukungan berupa komitmen yang kuat dan kebijakan bersama yang mengikis ego sectoral. Bukan hanya dilandasi atas ambisi buta apalagi latah digital.
Referensi :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/5011925/sri-mulyani-keluhkan-24-ribu-aplikasi-milik-pemerintah-bikin-boros-anggaran