Understanding: Memahami Kebutuhan User
Sebelum memulai suatu projek UX design, UX designer sebaiknya mendalami hal-hal mendasar terkait pihak-pihak yang akan terlibat dengan produk/ sistem terlebih dahulu. Hal ini berarti UX designer harus berfokus pada “understanding”, yang berarti memahami apa yang seseorang lakukan atau mungkin ingin lakukan, bagaimana dan mengapa mereka ingin melakukan hal tersebut, dan masalah apa yang mereka hadapi saat ini dengan produk/ sistem yang sudah ada (sedang digunakan). Aspek “understanding” ini penting keberadaannya agar UX designer dapat mencapai tujuan akhir mereka, yakni mengembangkan teknologi yang mentransformasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari lebih efisien dan enjoyable. Tujuan ini tidak serta merta dapat dicapai, UX designer harus melakukan penelitian terhadap user, atau disebut juga sebagai user research, agar mendapatkan pemahaman mengenai lingkup aktivitas yang dapat dijadikan fokus dari investigasi (untuk dikembangkan desainnya).
UX designer perlu mencari tahu tentang apa yang diinginkan klien/ calon klien mereka dari produk, layanan, atau sistem tertentu. Keinginan yang diekspresikan oleh user ini kemudian akan dianggap sebagai “requirement” oleh UX designer. Menurut Robertson dan Robertson (2012), requirement merupakan sesuatu yang harus dapat dilakukan oleh suatu produk atau suatu kualitas yang harus dimiliki oleh produk. Untuk mendapatkan “requirement” ini, UX designer akan mempelajari kebiasaan dan aktivitas user saat ini dan mempelajari aspirasi dan tujuan dari masyarakat. Kemudian, UX designer akan mengubah hal-hal yang sudah dipelajari dan didapatkan sebelumnya menjadi informasi terkait “requirement” yang dapat digunakan sebagai solusi sebuah desain produk atau sistem atau layanan yang baru.
Memahami dan menganalisis kebutuhan, tujuan, dan aspirasi orang lain (potential user) tidaklah mudah, UX designer harus memahami konsep bahwa mereka bukanlah orang yang akan menggunakan suatu produk final, user-lah yang akan menggunakan produk final. Oleh karena itu, UX designer harus mendapatkan sample individu yang benar-benar beragam dalam menetapkan “requirement” yang akan diimplementasikan dalam produk/ sistem/ layanan yang akan dirancang. Hal ini bertujuan agar “requirement” tersebut luas sasarannya dan akan lebih mampu menjangkau ke berbagai kalangan.
Ada beberapa teknik utama yang dapat digunakan untuk memahami aktivitas orang lain dan merangkumnya untuk mendapatkan “requirement” sebagai sebuah solusi desain, yakni:
1. Interviews
Interview merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh potential user dan masalah apa yang mereka hadapi saat ini. Untuk dapat mendapatkan jawaban yang beragam dan menyeluruh, UX designer perlu menggunakan berbagai gaya interview yang berbeda, dari survey yang terstruktur sampai obrolan santai yang umum. Pada interview yang terstruktur, pertanyaan yang disampaikan adalah pertanyaan yang sudah dirancang sebelumnya untuk ditanyakan kepada responden. Interview yang terstruktur ini mudah untuk dilakukan karena pertayaan-pertanyaan yang akan dilontarkan sudah dirancang sebelumnya. Namun, interview jenis ini akan menyulitkan pewawancara untuk memfollow-up tanggapan/ jawaban yang tak terduga dari responden.
Karena interview terstruktur kurang dapat mengeskplorasi jawaban responden, interview yang lebih banyak diterapkan adalah jenis interview semi-terstruktur. Pada interview jenis ini, pewawancara dapat melontarkan pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya dan juga dapat menyusun ulang pertanyaan sesuai dengan eksplorasi jawaban baru yang muncul. Dengan interview semi-terstruktur ini, pewawancara harus pandai dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan spontan agar jawaban dan data yang didapatkan lebih mandalam.
Dalam beberapa kasus, interview tidak terstruktur juga dapat dilakukan. Interview jenis ini dilakukan kadang-kadang untuk meminimalkan prasangka desainer, atau ketika sangat sedikit informasi latar belakang yang tersedia (sudah dicari sebelumnya). Dalam interview jenis ini, tidak ada pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya atau topik yang melenceng dari pembahasan umum mengenai projek yang ingin digali.
2. Questionnaires
Kuesioner merupakan salah satu cara untuk merampingkan proses “understanding” jika terdapat sejumlah besar potential user yang akan disurvei namun tidak tersedia sumber daya yang mencukupi untuk mewawancarai mereka secara individu. Namun, terdapat kelemahan dari kuesioner ini adalah sulit membuat suatu kuesioner atau
akan memakan waktu yang lama untuk dapat membuat item-item pertanyaan yang mudah dimengerti, jelas, menghasilkan data yang benar-benar menjawab “requirement”, dan mudah dianalisis. Kuesioner ini sangat cocok untuk mengumpulkan sejumlah besar data terukut atau untuk mendapatkan tanggapan dari orang-orang yang tidak dapat terlibat secara langsung.
3. Probes
Probe adalah kumpulan artefak yang dirancang untuk memperoleh persyaratan, ide, atau pendapat dalam konteks tertentu. Contoh nyata dari probes/ penyelidikan yang telah dilaksanakan adalah “cultural probes” yang dikembangkan oleh Bill Gaver dan rekan-rekannya (Gaver et al., 1999) dalam bekerja dengan orang tua yang berlokasi di tiga kota Eropa. Tujuan keseluruhan dari kerja sama tersebut adalah untuk merancang teknologi yang akan mendorong partisipasi yang lebih besar dalam masyarakat oleh orang tua. Memang, cultural probes berbeda dengan menyelidiki keinginan potential user dalam usaha perancangan “requirement” oleh UX designer. Namun, sebenarnya probes dapat diimplementasikan juga untuk merancang “requirement”, contohnya adalah technology probes, yaitu bentuk lain dari penyelidikan yang digunakan untuk mengumpulkan “requirement” untuk teknologi rumah. Maka, teknik penyelidikan (probes) ini dapat diimplementasikan juga dalam usaha mencari keinginan user dalam aspek-aspek kehidupan lainnya.
4. Card sorting techniques
Penyortiran kartu mengacu pada sejumlah teknik yang berkaitan dengan pemahaman bagaimana orang mengklasifikasikan dan mengkategorikan sesuatu. Ada suatu istilah bahwa mencoba menemukan sesuatu di situs web seperti mencari gunting di dapur orang lain. Maka, akan terdapat banyak perbedaan aksi ketika seseorang mencoba menemukan sesuatu di situs web.
Ketika terdapat hasil data dari sejumlah besar orang, berbagai teknik pengelompokan matematis dapat digunakan. Penyortiran kartu ini dapat dilakukan secara face to face (tatap muka) atau menggunakan alat online. Terdapat dua jenis pengurutan kartu:
a. Pengurutan kartu terbuka dimulai dengan kartu kosong dan partisipan diminta untuk menuliskan objek atau tindakan yang mereka anggap penting dalam beberapa aspek. Kemudian jawaban yang sama akan dikumpulkan ke dalam satu kategori.
b. Pengurutan kartu tertutup dimulai dengan kategori yang telah ditentukan sebelumnya dan meminta partisipan untuk menempatkan objek ke dalam kategori.
Pemilihan jenis pengurutan kartu yang akan digunakan tergantung pada pertanyaan yang akan dilontarkan pada responden. Misalnya, terkait pertanyaan untuk memahami masalah apa yang dialami orang dalam menggunakan tampilan checkout, akan digunakan jenis kartu tertutup karena sudah memiliki kategori (gambar ada pada tampilan). Misalnya lagi, ketika mencoba memahami kategori apa yang akan dipilih orang untuk sayuran, UX designer akan memberi daftar sayuran dan menanyakan bagaimana mereka ingin mengelompokkannya.
5. Working with groups
Alternatif untuk meminta individu atau membuat/ merangsang individu untuk memberikan informasi adalah bekerja dengan sekelompok orang. Contoh paling umum dari ini adalah kelompok fokus. Dalam teknik working with groups ini, sekelompok orang diajukan pertanyaan oleh fasilitator dan didorong untuk bereaksi terhadap komentar satu sama lain. Jika mereka adalah bagian dari suatu kelompok, orang dapat diminta untuk menggambarkan bagaimana mereka bekerja sama untuk mengelola kegiatan.
Banyak teknik telah dikembangkan untuk mendukung kelompok fokus (focus groups). Salah satu contohnya adalah CARD (Collaborative Analysis of Requirements and Design). CARD digunakan oleh Microsoft dan Lotus. CARD menggunakan kartu bermain (kartu fisik) lalu suatu kelompok dapat menyusun, memodifikasi, dan mendiskusikan alur suatu aktivitas. Pada fase analisis, setiap kartu yang telah diformat sebelumnya berisi catatan tentang apa yang dilakukan oleh seseorang dan mengapa melakukan aktivitas tersebut. Persyaratan inovasi dalam praktik atau teknologi manusia kemudian dapat didiskusikan di sekitar kartu. CARD juga dimaksudkan untuk mendukung desain dan evaluasi.
Kegiatan kelompok penting lainnya adalah brainstorming. Terdapat banyak variasi cara tentang bagaimana mengatur dan menyusun sesi brainstorming. Pada intinya,
sesi brainstorming seharusnya menyenangkan untuk diikuti, yang mana untuk mencapainya diperlukan fasilitator yang berpengalaman.
6. Fieldwork: observing activities in situ
Mengamati aktivitas orang saat itu terjadi adalah metode lain yang sangat baik untuk dilakukan dan mengetahui kesulitan orang dalam melakukan aktivitasnya atau dalam menggunakan suatu produk/ sistem/ layanan dan selanjutnya dapat digunakan untuk menemukan solusi yang dituangkan dalam “requirement”. Dengana danya observasi di tempat, dapat mengeliminasi kelemahan wawancara dan kuesioner yang hanya memberikan satu sisi cerita dan tidak mampu menggambarkan semua detail aspek yang relevan dari kehidupan atau pekerjaan sehari-hari. Memang, terkadang hal ini disebabkan karena aktivitas tersebut secara intrinsik sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata atau banyak prosedur manual termasuk dalam kategori ini (misalnya mencoba menjelaskan cara mengendarai sepeda) atau karena memerlukan kerja sama yang rumit dengan orang lain.
Dengan adanya observasi, dapat membantu mengatasi masalah terkait aktivitas yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam bentuknya yang paling sederhana, UX designer dapat dengan mudah bertanya, ‘Dapatkah Anda menunjukkan kepada saya bagaimana cara Anda melakukannya?’ selama wawancara. Namun, dalam melakukan observasi, perlu diingat bahwa setiap orang mungkin perlu mengetahui bahwa mereka diobservasi meskipun fokus objeknya bukan semua orang.
Sebenarnya, teknik-teknik untuk memahami aktivitas orang lain dan merangkumnya untuk mendapatkan sebuah solusi desain yang telah dijelaskan di atas dapat saja digunakan kembali dalam tahap yang berbeda dalam proses UX design. Memang tahap pertama dari mendesain adalah understanding (meneliti dan memahami situasi yang dihadapi), namun UX designer tentu belum akan mendapatkan pemahaman sepenuhnya dalam percobaan pertama kali (atau dalam tahap pertama), sehingga UX designer akan terus berusaha mencapai pemahaman penuh seiring proses UX design juga berjalan. Berkaitan dengan usaha untuk mencapai pemahaman penuh tersebut, UX designer mungkin dapat beralih dari suatu proses kembali pada proses sebelumnya, dari mengeksplorasi konsep baru, membayangkan ide dan pemahaman, serta
mengevaluasi ide, desain, dan opini. Pada intinya, dalam tahap “understanding”, UX designer menggunakan berbagai teknik yang telah dijelaskan dan memastikan bahwa segala prosesnya benar-benar berpusat pada user dan proses “understanding” ini akan ikut berkembang (mendapat pemahaman yang lebih baik mengenai user) seiring perkembangan tahap proses UX design.
Referensi
Benyon, D. (2019). Designing User Experience: A guide to HCI, UX and interaction design (4th Edition). 04. Pearson. United Kingdom. ISBN-13: 978-1292155517