School of Information Systems

Bagaimana Seorang Desainer UX Menentukan Requirements nya?

Sebelum seorang desainer UX mulai mendesain, maka penting bagi mereka untuk mengembangkan pemahaman mereka supaya mereka bisa benar-benar memahami dengan jelas dan menyeluruh mengenai orang-orang yang terlibat dengan produk atau sistem, aktivitas mana yang menjadi fokus desain, konteks di mana kegiatan tersebut berlangsung, dan juga implikasinya untuk desain tekonologi: PACT. Dengan memiliki pemahaman (understanding) yang baik, maka desainer UX akan mampu merancang UX yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Hal yang menjadi fokus dalam proses understanding ini adalah apa yang orang lakukan, bagaimana dan mengapa seseorang ingin melakukan sesuatu, dan juga masalah apapun yang mereka sedang alami dengan sistem yang mereka gunakan. Desainer UX ini harus mengembangkan teknologi yang membuat segala aktivitas kehidupan sehari-hari menjadi lebih efektif dan menyenangkan.

Untuk dapat memiliki pemahaman (understanding) yang baik, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh desainer UX, salah satunya adalah membuat persyaratan (requirements) UX yang baik. Setiap desainer harus memahami syarat pembuatan UX yang baik agar dapat membuat pengguna mendapatkan pengalaman yang menyenangkan dalam menggunakan produk kita.

Namun sebelum kita membahas lebih jauh, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan persyaratan. Bila kita ingat-ingat, ketika sedang mencari kerja misalnya, pasti kita pernah membaca mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dimiliki seseorang agar dapat melamar kerja di suatu tempat. Persyaratan UX pun sama hal nya dengan deskripsi yang kita baca pada lowongan kerja. Bedanya, apabila syarat pada lowongan kerja berfokus pada siapa yang ingin mereka pekerjakan, sedangkan persyaratan pada UX ini berfokus pada siapa yang akan menggunakan produk/layanan kita. Secara sederhana, persyaratan UX adalah hal-hal apa saja yang diperlukan agar suatu produk/layanan dapat berhasil.

Namun untuk dapat membuat persyaratan UX tentunya tidaklah mudah. Seringkali desainer kesulitan untuk menentukan syarat-syarat apa aja yang harus ada dalam pembuatan UX. Maka dari itu, terdapat beberapa cara yang dapat membantu seorang desainer UX untuk menemukan persyaratan (requirements) pembuatan UX, antara lain:

 

 

· Brainstorming

Brainstorming adalah sebuah metode yang biasa digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mengumpulkan ide dan gagasan yang baru. Dari brainstorming, kita bisa menemukan banyak ide-ide baru mulai dari yang kreatif bahkan hingga yang terkesan buruk sekalipun. Namun meskipun terkesan buruk, bukan berarti ide tersebut jelek. Justru ide-ide tersebut dapat kita kembangkan menjadi ide yang lebih kreatif.

Dengan adanya brainstorming, diharapkan semua orang dalam tim jadi bisa lebih aktif berpartisipasi untuk berpikir dan memberikan idenya sehingga terkumpul lebih banyak ide-ide kreatif dan inovatif. Selain itu, dengan adanya brainstorming bersama ini juga memicu otak kita untuk berpikir semakin kreatif dan out of the box. Brainstorming merupakan metode yang baik untuk membantu kita menentukan persyaratan apa yang harus ada dalam pembuatan UX.

· Wawancara dengan pemangku kepentingan

Setelah kita selesai melakukan brainstorming, maka cara lain yang juga bisa kita lakukan adalah melakukan wawancara kepada pemangku kepentingan. Dengan adanya wawancara ini, maka kita dapat menggali informasi lebih dalam dari pemangku kepentingan untuk menghasilkan persyaratan yang lebih substansial. Beberapa pertanyaan yang mungkin dapat kita ajukan dalam wawancara antara lain:

“Siapa saja pesaing terbesar kita?”

“Siapa saja pelanggan kita saat ini?”

“Apakah target konsumen kita dalam 5-10 tahun ke depan tetap sama atau akan berubah?”

“Siapa saja yang akan menggunakan fitur ini?”

“Bagaimana produk ini bisa cocok dengan strategi keseluruhan?”

“Bagaimana cara kita memenuhi kebutuhan bisnis tersebut?”

“Kualitas seperti apa yang Anda inginkan supaya customer tertarik dengan produk kita?”

Dari hasil wawancara dengan pemangku kepentingan ini, semua ide yang masuk harus kita dengarkan. Setelah itu, kita bisa mengelola dan menganalisis semua ide-ide yang masuk sebagai hasil brainstorming dan juga wawancara dengan pemangku kepentingan.

 

· Membuat prototype atau sketsa yang low fidelity

Dengan membuat prototype yang memiliki fidelitas rendah, maka akan dapat membantu pemangku kepentingan untuk mengetahui fungsionalitas dasar dan juga kendala yang penting. Selain itu, dengan membuat prototype berfidelitas rendah, maka akan mengundang kritik dan juga perhatian untuk alasan yang salah. Disamping itu, pembuatan prototype low fidelity ini juga termasuk murah dan dapat menghemat waktu. Dalam membuat prototype ini, kita tidak boleh hanya sekali membuat lalu selesai begitu saja. Kita harus mencoba membuat prototype ini berulang kali untuk menyempurnakan prototype hingga menjadi lebih baik. Selain itu, kita juga harus membuat spesifikasi dari prototype tersebut.

Prototype low fidelity adalah prototype setengah jadi yang berfokus pada fungsi, struktur, proses, dan juga menyediakan kerangka kerja dan elemen paling sederhana dari suatu web atau aplikasi. Prototype low fidelity ini sering digunakan untuk menerjemahkan ide desain menjadi artefak yang nyata dan dapat diuji untuk mengumpulkan dan menganalisis permintaan pengguna pada tahap awal.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan membuat prototype low fidelity ini, maka kita akan membantu pemangku kepentingan untuk mengetahui fungsionalitas dasar dan kendala yang penting. Dengan mengetahui hal ini, maka akan dapat membantu desainer dalam menentukan persyaratan sehingga persyaratan yang dihasilkan bisa lebih terfokus dan juga relevan.

Contoh dari prototype low fidelity adalah sebagai berikut:

Sumber:

https://www.quora.com/What-is-the-difference-between-low-fidelity-medium-fidelity-and-high-fidelity-prototypes

· Wawancara dengan pengguna (user interview)

Setelah melakukan 3 cara di atas dimana kita mencari informasi yang diperlukan untuk persyaratan pembuatan UX, maka kita juga perlu mendapatkan informasi dari orang luar yaitu pengguna produk. Wawancara dengan pengguna (user) ini pada dasarnya sama dengan wawancara pemangku kepentingan, hanya berbeda pada narasumbernya saja. Proses wawancara dengan pengguna ini melibatkan peneliti/desainer UX dengan pengguna.

Dari wawancara ini, maka desainer UX akan bisa memperoleh gambaran mengenai data etmografis pengguna. Selain itu, mereka juga akan memperoleh informasi mengenai bagaimana biasanya pengguna dalam memakai suatu produk, apa saja hal-hal yang kurang disukai pengguna dalam menggunakan suatu produk, dan apa saja tujuan dan motivasi pengguna menggunakan produk tersebut.

Dalam melakukan wawancara ini, mungkin pewawancara dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang sekiranya mampu mendorong pengguna untuk menyampaikan keluh kesahnya. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan antara lain “Apa yang paling Anda tidak sukai mengenai interface produk ini?”, “Pada bagian mana Anda paling membuang-buang waktu?”, dan “Di bagian mana Anda paling sering membuat kesalahan / error?”.

· Skenario dan persona

Setelah melakukan brainstorming, wawancara dengan pemangku kepentingan, membuat prototype low fidelity, dan juga wawancara dengan pengguna, selanjutnya desainer dapat membuat skenario dan juga persona pengguna. Skenario merupakan situasi yang menangkap bagaimana pengguna menggunakan produk kita. Sedangkan persona (user persona) merupakan karakter yang mewakili calon pengguna produk kita. Biasanya cerita pengguna (user story) merupakan penjelasan singkat yang mengidentifikasi siapa penggunanya, apa yang mereka butuhkan, dan mengapa mereka membutuhkan produk tersebut.

· Dokumentasi

Langkah terakhir untuk menentukan persyaratan pembuatan UX antara lain adalah dengan menyiapkan dokumentasi. Dalam tahap-tahap sebelumnya, kita telah melakukan

brainstorming, wawancara dengan pemangku kepentingan, membuat prototype low fidelity, wawancara dengan pengguna, dan juga membuat skenario dan persona. Dari semua tahap ini, pastinya kita telah mengetahui kira-kira persyaratan seperti apa saja yang harus kita terapkan dalam pembuatan UX. Maka dari itu, langkah terakhir yang harus kita lakukan adalah menuangkan semua informasi dan wawasan yang telah kita peroleh ke atas kertas. Dalam dokumentasi kita, kita harus menuliskan baik persyaratan secara teknikal maupun persyaratan produk.

 

Menentukan persyaratan (requirement) merupakan salah satu hal yang paling penting supaya desainer dapat memiliki pemahaman yang baik mengenai UX yang akan mereka desain nantinya. Maka dari itu, kita harus mengikuti tahap-tahap menentukan persyaratan dengan baik agar persyaratan yang kita tentukan juga relevan untuk desain UX kita. Kita tidak boleh melakukan kesalahan dalam menentukan persyaratan yang ada karena membuat kesalahan di awal akan berdampak buruk pada hasil akhir desain UX kita.

 

 

Referensi:

Benyon, David. (2019). Designing user experience: a guide to HCI, UX, and interaction (4th ed.). Pearson.

Justin. (31 Januari 2018). Capturing UX requirements in 6 simple steps. UX Planet. https://uxplanet.org/capturing-ux-requirements-in-6-simple-steps-3bf6e0abee9c

Kim. (2020). What is the difference between low-fidelity, medium-fidelity, and high-fidelity prototypes?. Quora. https://www.quora.com/What-is-the-difference-between-low-fidelity-medium-fidelity-and-high-fidelity-prototypes

Ferdianto, S.Kom., M.MSI.; Natasha Felicia Wibowo Sulaeman