School of Information Systems

Metode dan Langkah Sederhana Memperoleh UX Requirement

Dalam menciptakan pengalaman user atau pengguna yang baik, seorang UX designer harus terlebih dahulu memahami setiap persyaratan UX atau yang sering disebut UX Requirement. Akan tetapi, untuk memahami dan memperoleh UX Requirement ini tidak semudah yang dibayangkan, dimana hal ini membutuhkan banyak penelitian serta pemahaman menyeluruh mengenai jenis proyek apa yang sedang di buat dan memerlukan kesabaran yang sangat tinggi.

Sebelum membahas lebih jauh bagaimana seorang desainer UX dapat memenuhi seluruh Requirement tersebut, perlu kita ketahui terlebih dahulu apa itu UX Requirement? UX Requirement merupakan sebuah persyaratan, dimana Persyaratan ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh suatu produk atau kualitas yang harus dimiliki produk, dengan kata lain, sebuah pernyataan tentang apa yang harus diberikan atau bagaimana penggunaan dari suatu produk. Secara singkat, juga dapat kita mengerti bahwa UX Requirement merupakan apa yang dibutuhkan untuk keberhasilan suatu produk dan layanan. Dimana, UX Requirement ini dibuat hanya berpusat pada user/pengguna, sehingg agar Requirement ini dapat diimplementasi dan terukur secara efektif, maka Requirement harus bersifat tidak ambigu, detail, dan jelas.

Dalam sebuah sistem, terdapat 2 jenis sistem Requirement, sebagai berikut:

  1. Functional Requirements

Functional requirement merupakan requirement dari kegunaan sebuah software atau perangkat lunak yang harus dibentuk atau dibangun oleh developer kedalam produk agar user dapat menyelesaikan tugas mereka, sehingga apabila dijalani, hal ini dapat memenuhi persyaratan bisnis. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa functional Requirement ini meyatakan apa yang harus dilakukan oleh sistem. Misalnya, website harus memberikan notifikasi kepada administrator melalui e-mail atau pesan apabila terdapat user yang melakukan registrasi. Contoh:

    • Transaction corrections
    • Administrative functions
    • Audit Tracking
    • Business Rules
    • Historical data
    • Legal Requirement, dan lainnya.

  1. Non-Functional Requirement

Non-Functional Requirement merupakan Requirement yang menjelaskan tentang standar atau constraint yang harus dijalankan oleh sistem. Maka dari itu, Non-functional Requirement ini mendifinisikan karakteristik dari kualitas sebuah sistem. Adapun, contohnya yaitu:

    • Scalability
    • Avaibility
    • Reliability
    • Capacity
    • Security
    • Regulatory
    • Usability
    • Performance, dan lainnya.

Berbicara mengenai UX Requirement, tentu saja hal ini memiliki peran dan tujuan yang sangat penting, dimana UX requirement berperan untuk memahami user secara lebih dalam dengan mengidentifikasi kebutuhan user yang belum terpenuhi dan menentukan kebutuhan mana saja yang dapat dipenuhi atau diprioritaskan terlebih dahulu. Adapun, dalam artikel ini akan dibahas mengenai metode-metode dan langkah sederhana untuk memperoleh UX Requirement, yakni sebagai berikut:

  • METODE
  • Task Analysis

Task Analysis merupakan metode penyimpanan dan memprioritaskan tugas yang dilakukan oleh user terhadap produk atau layanan aplikasi.

  • User Modelling

User Modelling merupakan metode dengan menganalisis karakteristik dari key audience sebuah produk, web, serta layanan. Kemudian, membuat persona yang sesuai dengan profil user.

  • Focus Groups

Focus Groups merupakan metode dengan wawancara secara grup atau kelompok, umumnya menggunakan prototype atau sketch untuk dapat mengeksplorasi konsep dan pendapat dari user.

  • Information Architecture Analysis

Information Architecture Analysis merupakan metode dengan mengevaluasi informasi mengenai produk, web, aplikadi, serta mengidentifikasi komponen, taksonomi, dan hubungan.

  • Field Research

Field Research merupakan metode dengan melakukan wawancara, kuesioner, observasi, dan riset. Wawancara merupakan sebuah metode dengan melakukan tanya jawab, dimana pewawancara akan bertanya secara detail mengenai kebutuhan-kebutuhan user untuk sistem yang baru kepada calon user pada sistem tersebut. Adapun kuesioner, merupakan metode yang dikemas dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan secara tertulis, biasanya pertanyaan ini dibuat secara ringkas, jelas, dan familiar oleh calon pengisi kuesioner. Pembuatan kuesioner ini diharapkan dapat memudahkan developer sistem untuk mendapatkan informasi dari hasil kuesioner tersebut. Sedangkan, Observasi disini dapat diartikan sebagai proses melihat secara langsung bagaimana system yang ada berjalan dan melihat “work flow” dari system tersebut. terkadang, metode ini tidak terlalu efektif karna ketika kita sedang mengobservasi sebuah system dalam organisasi, para pelaku memperlihatkan perlaku yang berbeda, dimana mereka mengetahui bahwa mereka sedang diawasi. Selain itu, juga dapat melakukan Teknik riset, dimana dalam KBBI dikatakan bahwa riset adalah penyelidikan seatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian demi mendapatkan penafsiran yang lebih baik. Melakukan riset adalah hal yang murah. Dimana, riset dapat dilakukan dengan mencari informasi pada internet, selain itu melihat jurnal-jurnal atau artikel akademik dalam format pdf, word, dan sebagainya. Adapun, dengan melakukan riset terlebih dahulu, System Developer akan mengetahui lebih dalam mengenai kebutuhan User untuk system yang akan dibuat.

  • LANGKAH-LANGKAH
  1. Melakukan Brainstorming

Dalam mencapai UX Requirement, langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan Brainstorming. Dimana, dalam brainstorming ini melibatkan semua orang agar dapat memberikan ide dan membiarkan ide tersebut mengalir. Biarpun ide yang dihasilkan masih buruk, hal ini tidak menjadi masalah dibandingkan tidak ada ide yang dipancarkan sama sekali. Hal ini dikarenakan, pada sesi brainstorming ini, masih menjadi wadah penampung setiap ide baik itu buruk atau tidak, untuk nantinya dikembangkan menjadi ide-ide yang brilian. Adapun, brainstorming ini penting untuk dilakukan karena dapat memicu pemikiran yang kreatif dan menjadi metode yang baik untuk dilakukan sejak awal agar mencapai segala Requirement.

  1. Melakukan Interview atau wawancara kepada pemangku kepentingan.

Setelah melakukan sesi brainstorming, untuk dapat memeproleh informasi mengenai requirement lebih lanjut maka perlu melakukan wawancara dengan pemangku kepentingan. Langkah ini lebih formal dibandingkan dengan sesi brainstorming, hal ini dikarenakan perlu dilakukan secara lebih tegas. Dalam wawancara ini, kita sebagai desainer dapat bertanya secara spesifik kepada pemangku kepentingan untuk menghasilkan requirement yang lebih substantial. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan, sebagai berikut:

    • Bagaimana produk ini dapat cocok dengan strategi perusahaan secara keseluruhan?
    • Siapa yang menjadi competitor terbesar bagi perusahaan?
    • Siapa yang akan menjadi target sasaran perusahaan pada hari ini? dan apakah hal ini berbeda untuk 10 tahun kedepan?
    • Kualitas apa yang perlu dikaitkan dalam produk agar dapat memenuhi kebutuhan user?

Dengan ini, setiap jawaban yang diberikan oleh pemangku kepentingan (Stakeholder), penting untuk didengarkan baik itu akan dijalankan atau tidak. Hal ini dikarenakan, informasi yang dihasilkan dari wawancara dengan pemangku kepentingan tersebut umumnya, merupakan solusi atas masalah yang ada. Dengan demikian, dapat membantu mempercepat dalam mengidentifikasi masalah utama.

  1. Membuat low fidelity Prototype atau Sketsa

Setelah menemukan berbagai informasi mengenai setiap requirement, selanjutnya, diperlukan untuk membuat low fidelity prototype. Dimana, hal ini dibutuhkan untuk memahami fungsionalitas dasar dari produk dan kendala yang akan terjadi. Alasan dibuatnya low fidelity prototype dikarenakan lebih efisiensi waktu dan biaya.

Seperti yang sudah disinggung, bahwa low fidelity prototype, akan menunjukkan fungsionalitas dasar dan batasan yang ada dalam proyek. Tentu saja, semua itu bertujuan agar dapat menghasilkan requirement yang lebih fokus dan relevan, serta membantu designer dalam melanjutkan proyek ke langkah berikutnya. Selain itu, apabila ingin menambahkan anaggota tim ke prototype, mereka akan tetap mengetahui perubahan yanng terjadi selama proses berlangsung termasuk dapat menambahkan komentar atau kritik dari mereka pribadi.

  1. Melakukan Interview kepada user atau pengguna

Setelah melakukan prototype, langkah beirkutnya adalah mencari informasi lebih jauh dari orang-orang yang belum terlibat dalam proyek, yakni orang asing. Wawancara kepada user ini mirip dengan wawancara kepada pemangku kepentingan, dimana isinya berupa percakapan ringan. Tahap ini biasanya melibatkan peneliti UX dan pengguna.

Adapun, dari kegiatan interview kepada user ini, tentu saja desainer akan memperoleh pemahaman tentang data etnografis user. Selain itu, juga akan mendapatkan infromasi lebih lanjut mengenai penggunaan produk; memahami kendala dari user; mengetahui tujuan dan motivasi user; serta mengetahui bagaimana user berinteraksi dengan teknologi. Dari sini, tentu saja desainer akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih dalam dari orang yang diwawancarai dan nantinya bermanfaat untuk proses pencapaian requirement.

  1. Membuat Skenario dan Persona

Apabila sudah melakukan proses pembuatan ide (brainstorming), interview, dan pembuatan prototype. Selanjutnya, untuk mempraktikan informasi yang diperoleh, kita dapat membuat scenario, cerita dan persona dari user. Adapun, persona user ini merupakan summary yang berisi karakter yang mewakili calon user/pengguna produk atau layanan yang dimiliki; cerita user merupakan abstrak singkat yang mengidentifikasi pengguna dan tujuan mereka menggunakan produk, siapa, apa, dan mengapa mereka membutuhkan produk yang kita buat; sedangkan scenario merupakan situasi yang menangkap bagaimana user/pengguna melakukan tugas pada produk atau layanan yang kita miliki.

Dengan dibentuknya scenario dan persona ini, diharapkan UX desainer dapat mengekstrak functional requirement dengan benar dan baik.

  1. Menyiapkan Dokumentasi.

Langkah terakhir dari proses pencapaian UX Requirement ini adalah menyiapkan dokumentasi. Dimana, dalam dokumentasi ini biasanya dilakukan penyatuan setiap dokumen dan informasi yang telah diproleh dari 5 langkah yang sudah dilakukan sebelumnya, selain itu, perlu juga dicantumkan requirement teknis dan produk. Dengan demikian, UX Requirement berhasil diperoleh dan dicapai.

KESIMPULAN

Dalam memperoleh UX Requirement tentu saja perlu untuk melakukan beberapa tahap yang telah dijelaskan diatas. Tahap-tahap dan metode yang dilakukan perlu dilakukan dengan benar dan sebaiknya dihindari kesalahan. Hal ini dikarenakan, apabila terjadi kesalahan fatal sejak awal maka akan berdampak buruk pada hasil akhir proyek. Akan tetapi, jika hal tersebut dijalani dengan baik tanpa ada kesalahan, maka untuk mencapai Requirement akan lebih lancar dan akhirnya, dapat melakukan desain dengan lebih cepat dan lebih baik.

REFERENSI:

Anon., n.d. Requirements Gathering. http://teced.com/services/user-interface-design/requirements-gathering/. Diakses pada tanggal 25 November 2021.

Febric, M. 2016. 4 Cara Umum Yang Dilakukan Memperoleh User Requirements Specification Dalam System Analisis. http://sistemrespirasi.blogspot.com/2016/02/user-requirements-specification.html. Diakses pada tanggal 25 November 2021.

Justinmind. 2018. Capturing UX requirements in 6 simple steps. https://uxplanet.org/capturing-ux-requirements-in-6-simple-steps-3bf6e0abee9c. Diakses pada tanggal 25 November 2021.

Mehta, B. 2019. Gathering UX Requirements. https://uxdesign.cc/gathering-ux-requirements-e0580d6a715a. Diakses pada tanggal 25 November 2021.

Yuliana Theresia, Ferdianto