School of Information Systems

Komputasi Awan, Masa Depan Ekonomi Dunia

Pertumbuhan ekonomi dunia ke depan, diyakini sedikit banyak bakal dipengaruhi oleh teknologi komputasi awan ( cloud computation). Demikian diungkapkan CEO HuaweiEnterprise, Guo Pin, dalam paparannya di Huawei Connect 2017 yang digelar di Shanghai New International Convention Center, China, Selasa (5/9/2017) .

“Komputasi awan adalah batu loncatan pertumbuhan ekonomi global. Melalui ekosistem yang mendukung, masyarakat dunia akan menikmati dampak positif dari transformasi digital ini,” ujar Ping. Kota Yanbu, Arab Saudi adalah salah satu contohnya. Setelah menggunakan layanan komputasi awan dalam bentuk smart city, April 2017 lalu, investasi kota itu meningkat 18 persen.

Hal tersebut memberikan angin segar bagi tenaga kerja setempat karena investasi yang masuk mampu menyerap hingga 18.000 orang. Kota Weifang, Provinsi Shandong, China, juga demikian. Investasi di kota tersebut naik berkali-kali lipat setelah seluruh aspek pelayanan di kota diintegerasikan ke dalam komputasi awan.

Bahkan, keamanan publik termasuk di dalam sistem komputasi awan tersebut. “Pernah kejadian anak hilang. Melalui sistem smart city, khususnya video cloud surveillance, mampu ditemukan dalam 15 jam saja, bahkan tidak perlu menunggu 24 jam,” ujar dia.

Mitos Keliru Orang Indonesia terhadap Cloud Computing

Microsoft baru-baru ini mengumumkan survei tentang adopsi komputasi awan ( cloud computing) dan hambatannya. Survei online ini menyasar partner reseller TI di seluruh Asia Pasifik. Indonesia menjadi salah satu negara yang berpartisipasi di dalamnya dengan jumlah 161 responden.

Menurut Microsoft, terdapat pertumbuhan positif adopsi cloud di Asia Pasifik. “Namun masih ada mitos-mitos yang menjadi penghalang organisasi untuk lebih ulet dan produktif,” terang Bernard Saisse, Direktur Marketing & Operasional Microsoft Indonesia, dalam keterangan pers yang diterima KompasTekno.

Apa saja mitos-mitos tersebut? Urutan pertama yang membuat perusahaan enggan mengadopsi cloud adalah kurangnya privasi. Hal tersebut dikarenakan data-data milik perusahaan disimpan berbarengan dengan data perusahaan lain.

Keamanan menjadi masalah terbesar kedua. Dengan menaruh data ke perusahaan penyedia layanan cloud, biasanya konsumen juga kurang percaya dengan keamanannya karena tidak dikelola sendiri. Mitos ketiga adalah kondisi yang belum matang, diikuti dengan masalah produktivitas di posisi empat, dan tidak adanya kepemilikan sebagai mitos kelima. Kelima mitos ini juga berlaku di kawasan Asia Pasifik, hanya urutannya yang berbeda.

Mitos lain yang diungkap oleh Microsoft adalah seputar biaya dan keandalan layanan, tidak adanya nilai tambah, layanan yang kompleks, serta kurang jelasnya tingkat pengembalian investasi.

“UKM (Usaha Kecil Mandiri) adalah kunci pertumbuhan dan mesin inovasi di Indonesia, jadi misi kami adalah memastikan bahwa upaya kami mampu mengedukasi dan meyakinkan para pebisnis bahwa cloudselama ini telah siap memenuhi kebutuhan bisnis mereka,” pungkas Bernard.

Lewat Cloud, Microsoft Ingin Kikis Bajakan

Penguasaan pasar ternyata tak selalu mencerminkan pemasukan yang sepadan dengan besarnya angka market share. Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden Direktur Microsoft Indonesia Andreas Diantoro dalam acara peluncuran Microsoft Office 365 di Jakarta, Selasa (12/2/2012).

“Pangsa pasar software produktivitas Microsoft Office mencapai 97 persen di seluruh dunia, di Indonesia pun tak jauh dari angka itu. Tapi, dari jumlah tersebut, mungkin hanya 10 persennya yang membayar,” ujar Andreas, mengutip data IDC per November 2012. Dia mengacu pada tingginya pembajakan yang menimpa aplikasi populer dari Microsoft itu.
Faktor harga ditengarai sebagai salah satu penyebab utama. Andreas mengatakan, harga kisaran Rp 2 juta yang dipatok Microsoft untuk paket Office dinilai terlalu tinggi oleh beberapa pihak.

“Nah, sekarang kami sediakan alternatif berupa Office 365 yang bukan hanya terjangkau, tapi juga datang dengan berbagai macam bonus seperti gratis telepon lewat Skype dan ruang penyimpanan SkyDrive,” lanjut Andreas. Office 365 adalah paket productivity suite berbasis cloud yang bisa digunakan dengan cara berlangganan. Untuk versi Home Premium yang ditujukan bagi konsumen umum, biayanya sebesar Rp 729.999 per tahun. Lisensi aplikasi ini berlaku untuk lima perangkat dari berbagai macam jenis, termasuk PC desktop, notebook, tablet, dan smartphone berbasis Windows atau Mac OS.

“Dengan adanya paket Office 365, mudah-mudahan nanti bukan hanya 10 persen pengguna saja yang bayar (lisensi), tapi lebih dari itu,” ujar Andreas. Ditambahkan olehnya, Office 365 bukanlah pengganti seri Office “tradisional” yang kini sudah mencapai seri 2013, melainkan sebagai pelengkap atau  alternatif bagi mereka yang membutuhkan.

“Untuk pengguna yang hanya butuh satu lisensi dan menggunakan satu perangkat saja, bisa pilih Office 2013 yang lisensinya berlaku selama-lamanya. Untuk yang punya banyak device, bisa pakai Office 365 dengan cara berlangganan.”

Office 365 bisa dibeli melalui situs online Microsoft dengan memakai kartu kredit. Software ini juga dijual di toko-toko retail rekanan Microsoft untuk mengakomodir pengguna yang lebih suka berbelanja offline atau tidak memiliki kartu kredit. Andreas berharap bisa menyediakan Office 365 di 500 toko di Indonesia dalam jangka waktu 3 bulan ke depan. Soal adopsi Office 365 yang berbasis cloud, Andreas menyatakan optimis. Pengguna komputer Indonesia, menurut dia, sudah familiar dengan layanan berbasis komputasi awan.

“Banyak yang sudah pakai. Sebagian tidak menyadari, padahal selama ini menggunakan cloud, misanya di jejaring sosial,” pungkasnya.

Sumber :

http://tekno.kompas.com/read/2017/09/06/19302677/komputasi-awan-masa-depan-ekonomi-dunia

Sulistyo Heripracoyo