School of Information Systems

Aset Negara “Quo Vadis”

Quo vadis terjemahannya secara harafiah: “Ke mana engkau pergi?” (terjemahan Latin dari bagian Injil Perjanjian Baru). Terkait dengan permasalahan Aset Negara selama hampir 69 tahun NKRI berdiri terjadi “lack clarity of ownership of assets”– ketidak jelasan kepemilikan asset negara. Beberapa kasus berikut. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyatakan,  aset pemerintah kota Bandung senilai Rp 668 miliar tidak diketahui rimbanya. Pemkot Bandung akan menelusuri aset yang hilang itu. Pengusutan meliputi aspek pengelolaan barang milik daerah, aspek pengelolaan piutang daerah, aspek persediaan dan bansos.

Hasil pengusutan Pemkot Bandung bersama BPK itu, akan diserahkan  kepolisan dan  kejaksaan. Bersama pengawasan BPK, Pemkot Bandung juga akan memperbaiki sistem akuntansi, memperbaiki Sumber Daya Manusia (SDM) dan lainnya. BPK akan ikut memeriksa, mengidentifikasi dan mengemukakan hasil temuan mereka terhadap pengelolaan aset daerah kota Bandung. Tidak tercatatnya aset senilai Rp 668 miliar itu diantaranya, adanya pemindahan kepemilikan yang luput dari pengetahuan Pemerintah Kota dan adanya perluasan wilayah aset Pemerintah Kota.[1]

Kasus lain terjadi pada PT Kereta Api Indonesia (Persero) mengajukan memori peninjauan kembali (PK) atas kasus lahan seluas 7,9 hektar, di Medan, Sumatera Utara. PT KAI akan terus memperjuangkan aset tersebut. Aset tersebut merupakan aset negara yang wajib dipertimbangakan, selain ke depannya dapat memberikan mamfaat komersil untuk KAI. Harga aset tersebut ditaksir berkisar Rp 3,5 triliun–Rp 3,7 triliun yang kini dikuasai PT ACK dan sudah berdiri hotel, mal, gedung perkantoran dan rumah sakit.[2]Hal yang sama juga terjadi di Pemda Kabupaten Serang. Sebanyak 81 tanah milik Pemerintah Kabupaten Serang sejak tahun 2011 sampai 2013 belum bersertifikat. Selain tanah, status sejumlah pulau di wilayah Kabupaten Serang juga tidak jelas kepemilikannya. “Minimnya sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan Kabupaten Serang, terutama di bagian aset, yang menjadi penyebab semua ini,”.

Dengan demikian dapat dibuat beberapa kriteria aset yang dinyatakan bermasalah yaitu 1.diantara dokumen aset yang secara legal milik Pemda atau BUMN ataupun Negara tersebut, sebagian di antaranya berkondisi sangat minim dan tidak lengkap dalam dokumen. Akibatnya, menyulitkan dalam proses penyelesaian keabsahan sebagai aset milik Negara dengan adanya bukti sertifikatnya, 2. bahwa dokumen itu berada dalam status lengkap, tetapi ternyata lokasi aset tidak diketahui, 3. dokumen itu ada dalam status lengkap, tetapi tanah/bangunan itu dihuni oleh pihak ketiga dan atau ex-debitur. [3]

Data valid aset negara

Data valid terkait kepemilikan aset negara masih sebuah dambaan. Selama ini, pemerintah mengklaim memiliki aset yang sangat besar namun sulit untuk dibuktikan. Karena itu, pemerintah bertekad segera menertibkan aset negara baik yang telantar maupun dalam penguasaan oleh pihak yang tidak berwenang. Banyaknya aset negara yang terbengkalai menjadi aset antah berantah alias tidak bertuan sehingga tidak terdata dengan baik, membuktikan bahwa selama ini aset tersebut tidak dikelola dengan baik serta luput dari pengawasan yang ketat. Akibatnya inventarisasi aset negara tidak terkontrol dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Selain persoalan data aset negara yang minim, juga terhambat persoalan terjadinya perbedaan persepsi dalam pengelolaan barang milik negara dan dukungan peraturan yang tidak memadai. Persoalan lain yang tak kalah membuat miris terkait keberadaan aset negara adalah masalah sertifikasi. Pemerintah berharap pada para pengelola aset negara agar tidak lalai melakukan sertifikasi sebab menyangkut legalisasi aset negara yang bisa mencegah kepemilikan ilegal oleh pihak tertentu. Salah satu sumber masalah selama ini, sering kali sejumlah aset dibiarkan tak terurus hingga kemudian dikuasai oleh pihak yang tidak berhak.[4]

Perlunya Legalisasi Aset BPN

Legalisasi aset adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi (pengumpulan data fisik, data yuridis, pengumuman serta penetapan dan/atau penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah), pendaftaran hak atas tanah serta penerbitan sertipikat hak atas tanah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh BPN untuk melegalisasi (mensertifikasi) aset berupa tanah belum bersertipikat milik (yang telah dimiliki/dikuasai) oleh perorangan anggota masyarakat atau perorangan anggota kelompok masyarakat tertentu. Percepatan legalisasi aset/tanah merupakan sebuah keharusan untuk mewujudkan fokus dari arah pembangunan nasional di bidang pertanahan. Bidang tanah yang belum terdaftar dan diberikan legalitas asetnya berupa sertipikat hak atas tanah, akan berpengaruh terhadap kepastian hukum atas aset tanah, baik bagi masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Pemilikan/penguasaan tanah yang belum terlegalisasi tersebut, akan rentan terhadap terjadinya sengketa dan konflik pertanahan.[5]

Penutup

Sebagai penutup dapat disimpulkan secara ringkas bahwa bagi setiap pemilik Asset wajib untuk melegalisasi asetnya dan apabila dikelola dengan efektif akan memberikan kontribusi yang besar pada efisiensi penggunaan aset, nilai ekonomi sumber daya, produktifitas, dan kualitas serta merupakan input yang penting bagi pengambilan keputusan strategik perorangan, perusahaan. pemda dan negara.

Sumber:
[1] http://www.tempo.co/read/news/2013/10/23, diunggah Selasa, 03 Desember 2013 | 16:57 WIB
[2] http://www.tempo.co/read/news/2013/09/20, diunduh Jum’at, 20 September 2013 | 08:53 WIB
[3]http://www.tempo.co/read/news/2013/06/11, diunduh Selasa, 02 Juli 2013 | 14:36 WIB
[4] http://nasional.sindonews.com/read/2014/01/23, diunduh Kamis, 09 Januari 2014, 00:30 WIB
[5] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8274/gaet-bpn-bppn-akan-jual-aset-bermasalah