School of Information Systems

Algoritma Facebook Bikin Donald Trump Menangi Pemilu AS?

https://tekno.kompas.com/read/2016/11/11/11310097/algoritma.facebook.bikin.donald.trump.menangi.pemilu.as..
Penulis : Yoga Hastyadi Widiartanto

Sebagian orang merasa bingung mengapa Donald Trump bisa memenangkan Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) 2016. Beberapa di antaranya menuding bahwa penentu kemenangan itu adalah Facebook. Tudingan ini berkaitan dengan algoritma Facebook dalam menampilkan berita atau berbagai hal pada penggunanya. Algoritma tersebut diduga membuat penggunanya kesulitan membedakan fakta dan fiksi. Fenomena terkait dengan algoritma itu dikenal sebagai filter bubble, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh penulis Eli Pariser dalam bukunya, The Filter Buble: What the Internet Is Hiding From You.

“Demokrasi bisa berjalan hanya saat warga bisa berpikir melampaui keinginan pribadinya. Tapi agar dapat berpikir demikian, kita semua harus saling berbagi pandangan mengenai dunia dihuni bersama. Kita perlu saling kontak dengan kehidupan orang lain, begitu juga kebutuhan dan hasratnya,” tulis Eli memulai penjelasan mengenai filter bubble tersebut. “Filter bubble mendorong kita ke arah berlawanan dengan cara menciptakan kesan bahwa hanya keinginan pribadi kita saja yang tersedia. Ini cara yang hebat dalam konteks memantik minat belanja seseorang, tapi cara ini tidak tepat jika konteknya untuk membuat orang-orang bermusyawarah mengambil keputusan yang lebih baik,” imbuhnya.

Algoritma biasanya dipakai untuk memprediksi sesuatu yang disukai pengguna, baik pada Facebook, Google Search atau berbagai media sosial dan platform lain. Sayangnya, algoritma ini memiliki efek buruk pada linimasa yang menampilkan berita atau artikel. Bayangkan seperti ini: Ada seseorang yang membagikan cerita mengenai tokoh politik tertentu. Cerita tersebut sangat cocok dengan pendapat Anda mengenai berbagai hal, namun sayangnya, tidak berdasar fakta. Lalu Anda melihat dan membacanya di linimasa media sosial, bahkan mungkin dari mesin pencari Google.

Algoritma menganggap Anda  menyukai cerita tersebut. Lalu, efeknya algoritma akan membuat linimasa media sosial Anda menampilkan berbagai topik sesuai cerita kesukaan itu, walau cerita atau berita itu tidak sesuai dengan faktanya. Artinya, linimasa akan otomatis menghalau cerita dengan topik berlawanan, yang sebenarnya berdasar fakta, sehingga Anda tak akan melihat bantahan atau sanggahan dari cerita yang Anda sukai mengenai sang tokoh politik itu. Hal yang lebih buruk, bukan sekadar cerita berlawanan saja yang otomatis dihapus, melainkan segala cerita yang bisa memberi informasi, dan mungkin membuat Anda membuka mata dengan memberi pandangan ke arah lain.

Kaitan dengan AS Di AS sebenarnya banyak sekali sumber berita atau artikel, dengan berbagai variasi topik dan sudut pandang. Jumlahnya cukup banya untuk dibaca seseorang dan membuatnya jadi makin kaya informasi terkait topik tertentu. Sayangnya, sebagaimana dilansir KompasTekno dari Business Insider, Kamis (10/11/2016), rata-rata warga Amerika justru manut pada algoritma. Mereka cuma membaca apa yang disodorkan dalam hasil kurasi Facebook. Hal ini terindikasi dalam riset dari Pew Study. Hasil riset itu menunjukkan bahwa 63 persen orang dewasa di AS menggunakan Facebook sebagai sumber informasi untuk setiap peristiwa dan isu yang sedang hangat.

Namun tentu saja pendapat seperti ini, yang menyetarakan media sosial dengan media berita resmi, mendapat bantahan. CEO Facebook Mark Zuckerberg sendiri menolak percaya bahwa media sosial yang dikelolanya mulai terlihat sebagai kantor berita atau perusahaan media.

“Secara pribadi, saya rasa berita bohong di Facebook yang jumlahnya sedikit itu, tidak memiliki pengaruh terhadap hasil pemilu, gila itu,” kata Zuckerberg. Alih-alih, Zuckerberg mengatakan orang-orang hanya terkejut saja dan masih mencoba memahami dan menerima hasil pemilu AS lalu. “Rasanya tidak pas jika memikirkan seseorang memilih (presiden) karena berita bohong (yang beredar di facebook),” imbuh Zuckerberg.

Sebelumnya, Zuckerberg juga telah menegaskan bahwa Facebook bukan perusahaan media. “Kami adalah perusahaan teknologi. Kami bukan perusahaan media. Jika Anda membayangkan perusahaan media, Anda tahu, artinya adalah ada orang-orang yang membuat konten serta mengeditnya. Kami tidak seperti itu,” terang Mark, pada Agustus lalu.

Yoga Hastyadi Widiartanto