School of Information Systems

Surcharge Kartu Kredit, Legal atau Tidak?

Kartu kredit sebenarnya adalah alat bantu untuk memudahkan transaksi sehingga tidak perlu menyiapkan uang tunai yang beresiko terhadap tindak kriminal. Namun bagi sebagian orang, kartu kredit justru digunakan untuk banyak kepentingan lain, salah satunya menjadi media hutang yang paling gampang. Nah, bisnis kartu kredit sendiri kian marak seiring dengan gaya hidup. Di mana orang seolah-olah gengsinya naik setelah menggunakan kartu kredit.

Hal itulah yang mungkin dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk mengambil keuntungan lebih dari fakta tersebut. Di mana, belakangan banyak sekali merchant yang mengambil surcharge kartu kredit dari setiap transaksi yang dilakukan konsumen. Masalahnya, apakah itu legal atau tidak? Di sini kami akan membahasnya untuk Anda.

Meningkatnya Pengguna Kartu Kredit di Indonesia

Sebelum membahas ke masalah inti, sebenarnya ada banyak manfaat yang dirasakan pemegang kartu sehingga pengguna kartu kian lama kian meningkat. Salah satunya adalah praktis dalam penggunaan, di mana pemegang kartu tidak perlu repot lagi bawa uang tunai. Transaksi bisa dilakukan dengan mudah, lancar dan aman bahkan Anda tidak perlu repot lagi dengan uang kembalian. Selain praktis, kartu kredit juga seperti kartu sakti yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Salah satu contoh situasi mendesak adalah masuk rumah sakit dan membutuhkan perawatan segera. Kemudahan lain yang didapat oleh pengguna kartu adalah banyaknya reward yang diberikan dari penerbit kartu misalnya hadiah langsung, cashbackreward point untuk membeli produk tertentu.

Sejalan dengan Kampanye Cashless Society Bank Indonesia

Semakin maju teknologi, transaksi tunai makin berkurang. Bahkan Bank Indonesia sendiri sampai menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, dan PBI No. 16/8/PBI/2014 Tentang Uang Elektronik. Untuk menunjang Praturan BI ini, sejak Agustus 2014 silam, Bank Indonesia dengan giat melakukan kampanye Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan mencanangkan target pertumbuhan non tunai sebesar 10% supaya bisa bersaing dengan negara lain.

Fenomena Surcharge dalam Transaksi Kartu Kredit

Sebenarnya traksaksi dengan kartu kredit sama prosesnya dengan tunai yaitu tanpa biaya. Hanya saja jika menggunakan kartu kredit Anda tidak perlu membawa uang tunai atau cukup dengan menggesek saja. Sangat mudah memang. Namun pada kenyataannya Anda kemungkinan akan mengalami perlakuan yang berbeda saat membeli produk di toko yang berbeda. Perbedaan itu terkait biaya proses transaksi dengan kartu kredit tersebut. Ada merchant yang mengenakan tambahan biaya 3-3,5 % ada juga yang tidak. Tambahan biaya ini yang dikenal dengan istilah surchargeSurcharge biasanya hanya terjadi untuk produk tertentu misalnya barang elektronik dan tidak semua merchant memberlakukan surcharge.

Lebih jelasnya, surcharge adalah biaya tambahan atas transaksi kartu kredit yang dibebankan oleh toko saat membeli produk tertentu. Biasanya besarnya surcharge 3%-3,5%. Proses surcharge terjadi saat proses gesek kartu kredit langsung dibebankan pada nominal harga pada mesin EDC sehingga saat tagihan muncul nominalnya lebih besar dari harga asli produk yang dibeli.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah ini legal? Siapakah yang menikmati surcharge ini? Transaksi kartu kredit melibatkan bank penerbit kartu, merchant dan penyedia mesin EDC. Sebenarnya sangat wajar manakala bank mengincar keuntungan lewat penyediaan mesin gesek EDC. Nasabahnya adalah pemilik toko atau merchant itu sendiri dengan cara menarik biaya 3%-3,5% di setiap transaksi lewat mesin gesek ini untuk menutup biaya operasional bank dan menjadi fee based income (pendapatan non bunga) mereka.

Peraturan Bank Indonesia Mengenai Surcharge

Praktek surcharge dalam transaksi kartu kredit bisa dibilang menyalahi aturan. Sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 yang menegaskan bahwa penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan toko yang merugikan pemegang maupun penerbit kartu kredit. Sanksinya tegas yaitu penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan toko yang terbukti menerapkan tindakan yang merugikan yang meliputi pelaku kejahatan (scamming), praktik gestun (gesek tunai), dan memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

Ada Kerjasama Antara Pihak Toko dengan Bank

Pada kasus surcharge sebenarnya yang nakal adalah tokonya. Ada saja alasan toko untuk memungut biaya surcharge kartu kredit yang mereka kemukakan. Dan celakanya bank penerbit kartu juga memaklumi alasan toko memungut biaya surcharge kartu kredit ini walau jelas dilarang oleh regulator Bank Indonesia.

Harga jual beberapa produk seperti elektronik dan gadget sangatlah bersaing dengan margin keuntungan yang sangat tipis bahkan di bawah 2%. Tidak masuk akal manakala untuk transaksi dengan margin 2% dikenakan biaya 3% untuk biaya transksi ke penerbit kartu. Toko pasti rugi, dan untuk menutup biaya tersebut mereka membebankan ke pembeli dalam bentuk surcharge.

Bagaimana dengan bank penerbit kartu? Apakah mereka juga keberatan dan memutus kontrak penggunaan kartu dengan toko sesuai dengan aturan? Tunggu dulu, bisnis kartu kredit sangatlah menggiurkan. Bank tinggal duduk diam sudah mendapat setoran fee dari toko. Di dalam perjanjian kerjasama antara Bank dengan toko, pihak bank mendapatkan komisi atas transaksi yang dilakukan di toko itu dengan kartu kredit.

Bank selalu mendorong toko agar banyak menggunakan transaksi dengan kartu kredit, bahkan cenderung tutup mata terkait praktek menyimpang dan “segala cara” tersebut. Bahkan saking semangatnya bank mengambil manfaat dari biaya transasksi kartu kredit ini, mereka menerapkan target tertentu yang harus dipenuhi toko setiap bulannya.

Sebenarnya bank tidak mengambil untung dari surcharge. Bank hanya membebani toko dengan biaya transaksi kartu kredit. Mereka membuat perjanjian kerjasama, bank dan toko sepakat menentukan nilai merchant discount rate. Dalam kerjasama tersebut komisi yang didapat bank dari tiap transaksi yang dilakukan via kartu kredit. Besarannya rata-rata 3%-3,5%. Ambil saja contoh misalnya terjadi transaksi kartu kredit senilai Rp1 juta di toko itu. Maka bank berhak atas komisi sebesar tiga persen dari Rp1 juta yang nilainya Rp30 ribu.

Karena margin keuntungan beberapa produk yang sangat kecil dibawah tiga persen, maka toko membebankan biaya bank ke konsumen dalam bentuk surcharge. Inilah yang mereka klaim sebagai alasan toko memungut biaya surcharge kartu kredit.

Cara Menghindari Surcharge

Sebenarnya cara paling gampang agar terhindar dari praktek tersebut adalah dengan membeli produk di toko yang tidak menarik surcharge. Hal ini pada kenyataannya juga tidak mudah. Sebagian toko ini seolah sepakat membebankan surcharge supaya harga jual produk tetap bersaing dan menjadikan hal ini sebagai alasan toko memungut biaya surcharge kartu kredit.

Jika Anda tak bisa menghindar dari surcharge, maka masih banyak saluran pengaduan yang bisa dimanfaatkan kalau jadi korban surcharge. Anda bisa saja mengontak penerbit kartu kredit maupun pemilik mesin EDC secara resmi. Setelah itu tunggu saja respon dari bank penerbit kartu untuk memutus kontraknya dengan toko tersebut. Jika pihak penerbit kartu kredit maupun pemilik mesin EDC tutup mata maka Anda bisa langsung mengadu ke Bank Indonesia, Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), maupun lembaga pengaduan konsumen seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Jika ini Anda lakukan, maka sebenarnya sanksinya sangat tegas yaitu bagi toko yang melanggar aturan main ini bisa berakibat toko/merchant yang mengutip surcharge tiga persen dicabut izin penerimaan pembayaran lewat kartu kredit. Mesin EDC-nya pun bisa disita oleh pihak otoritas.

Tanyakan Secara Jelas

Jika Anda menghadapi kasus surcharge dan berniat ingin mengajukan klaim biaya ke penerbit kartu, maka sebaiknya pisahkan transaksi surcharge kartu kredit dengan transaksi pembelian. Kedua belah pihak, baik toko maupun bank, punya kepentingan yang sama dalam transaksi kartu kredit.

Bagi toko sebenarnya ada solusi yang bisa diambil yaitu dengan memberitahukan kepada konsumen tentang adanya surcharge tiga persen jika bertransaksi dengan kartu kredit sebelum transaksi dilakukan, atau Anda bisa bertanya pada toko mengenai transaksi produk yang akan dibeli untuk menghindari terjadinya penipuan.

I Gusti Made Karmawan