School of Information Systems

E-WASTE: SAMPAH ANTARIKSA

“Kemungkinan seorang manusia terkena benda jatuh dari antariksa 1:1.000.000.000.000. Sedangkan kemungkinan ada pesawat terbang yang terkena 1:10.000.000” (2011, beritasepuluh.com).

Sampah Antariksa

Sampah luar angkasa atau biasa disebut sampah antariksa, merupakan benda-benda hasil buatan manusia, umumnya dalam bentuk fisik besar, yang sudah tidak berfungsi/rusak dan berada di orbit Bumi – umumnya dalam bentuk puing-puing dari roket ataupun satelit yang sudah tidak dapat digunakan lagi (angkasa.xyz).

Gambar anatomi satelit:

Sumber: http://satellites.spacesim.org/english/anatomy/index.html

Sampah elektronik (e-waste) dapat difinisikan sebagai limbah yang berasal dari peralatan elektronik yang sudah bekas, telah rusak/usang, dan sudah tidak digunakan lagi oleh pemiliknya. E-waste mengandung material yang sangat berbahaya bagi manusia. Itu sebabnya e-waste dimasukan dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Dari gambar di atas sudah tampak dengan jelas, bahwa secara tidak langsung, sampah antariksa ini adalah bagian dari sampah elektronik (e-waste) – sama halnya dengan komputer dan ponsel bekas. Hanya bentuk fisiknya saja yang terkesan membuatnya sangat berbeda, padahal sebenarnya memiliki sifat dan karakteristik yang sama (bahkan unsur internal komputer ada di dalam anatomi satelit).

Polusi yang disebabkan oleh ulah manusia tidak hanya berhenti di Bumi, tetapi hingga luar angkasa. Setelah Sputnik, diluncurkan oleh Rusia (1957), banyak negara berlomba meluncurkan roket/satelit ke luar angkasa. Imbasnya, semua itu setelah tidak terpakai/rusak, kini menutupi luar angkasa sebagai sampah. Untuk melihat jumlah sampah yang mengambang di atas sana, ilmuwan Stuart Grey, dari University College London, membuat video animasi dengan menggunakan data lokasi setiap kepingan sampah dari situs space-track.org (2015, nationalgeographic.co.id).

Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/melihat-sampah-yang-menumpuk-di-orbit-bumi-selama-60-tahun

Sejak 1957 sudah 6.000 Satellit diluncurkan ke luar angkasa. Dan 1.000 di antaranya berfungsi dan digunakan untuk penelitian, militer dan telekomunikasi. Dan hanya 6-7% dari semua satelit itu masih berfungsi (Heiner Klinkrad, dikutip oleh dw.com). Menurut European Space Agency (ESA) dalam situs esa multimedia.esa.int menyatakan bahwa, sejak diluncurkannya satelit buatan pertama Sputnik, secara total, sudah ada 6.000 satelit yang beredar di orbit bumi. Namun, hanya sekitar 800 satelit saja yang masih aktif, dan sekitar 5.200 satelit lainnya, turut menjadi sampah antariksa dan tinggal bersama serpihan-serpihan sisa ledakan pesawat antaiksa dan benda langit lainnya (Alfiani, 2011, kompasiana.com).

Sumber: http://sistemalamsemestaitera.blogspot.co.id/2015_04_01_archive.html

Menurut para ilmuwan sampah antariksa kini sudah mencapai 93% dari total populasinya. Sampah antariksa mungkin hampir mencapai jutaan atau bahkan lebih. Berikut komposisi sampah antariksa berdasarkan penelitian para ilmuwan: (1) 42% berupa pecahan-pecahan atau sisa komponen benda ruang angkasa seperti bahan bakar, baterai, cat yang mengelupas yang menjadi debu-debu, (2) 22% berupa pesawat ruang angkasa atau satelit yang tidak ada manfaatnya atau tidak berfungsi, (3) 19% sampah yang berhubungan dengan aktivitas misi di ruang angkasa, dan (4) 17% berupa bagian badan roket atau ekor roket yang sudah tidak berfungsi (diolah dari: angkasa.xyz dan Alfiani, 2011, kompasiana.com).

Pada konferensi European Conference on Space Debris ke 6 (2013) disimpulkan bahwa kalau sampah di antariksa sudah dalam keadaan bermasalah dan akan berubah menjadi krisis yang berbahaya. Jumlah sampah yang ada di luar angkasa sudah melebihi ambang batas atau yang disebut sebagai “collisional cascading effect” mulai mendominasi. Dan yang lebih buruk lagi, sampah benda luar angkasa diprediksi bertambah di tahun-tahun berikutnya (2013, plimbi.com).

BETERBANGAN DI ANGKASA

Sampah, ternyata tidak hanya ada di bumi sebagai sisa-sisa dari kegiatan manusia sehari-hari. Ternyata di luar angkasa pun, manusia juga meninggalkan sampah yang beterbangan di orbit bumi. Sejumlah peneliti dari akademi ilmu pengetahuan Rusia telah memperingatkan kemungkinan ada kecelakaan yang diakibatkan meningkatnya volume sampah yang melayang di angkasa (2016, jogja.tribunnews.com).

Radar milik The US Join Space Operations Center (JSpOC) berhasil melacak lebih dari 23.000 sampah antariksa seukuran bola softball atau lebih besar dari 10 cm, selain juga berhasil melacak 500.000 lebih sampah antariksa dengan ukuran lebih dari satu centimeter, dan 100.000.000 lebih sampah antariksa dengan ukuran lebih besar hingga satu mm. Mulai dari bekas roket, bekas pesawat ulang alik, hingga satelit yang sudah tidak aktif. Semua berotasi mengelililngi bumi bersama satelit yang masih aktif. (2016, ANTARA, m.tempo.co).

Dikutip dari sciencealert.com, sampah-sampah di luar angkasa itu muncul dari sejumlah negara yang memiliki peralatan, seperti satelit atau semacamnya. Disebutkan dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Acta Astronautica, puing-puing itu jumlahnya ratusan ribu keping termasuk pecahan dari roket-roket yang diterbangkan. Angka terbaru dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan ada lebih dari 500.000 keping sampah antariksa saat terlacak di orbit, melayang dengan kecepatan hingga 28.160 km /h (17.500 mph) (2016, jogja.tribunnews.com).

NASA menyebutkan, mayoritas benda-benda itu memang berukuran kecil sekitar ukuran kelereng, tetapi ada sekitar 20.000 berukuran lebih besar. Sebagai informasi saja, benda seukuran bintik-bintik cat saja mampu merusak pesawat ruang angkasa, ketika melayang dengan kecepatan tersebut  (2016, jogja.tribunnews.com).

Selain jumlah 500.000 pecahan yang terdeteksi di atas tadi, para ilmuwan masih meyakini ada jutaan keping lain di orbit yang terlalu kecil untuk dipantau. Benda-benda kecil itu jika melayang di angkasa dengan kecepatan seperti itu mampu menimbulkan kerusakan parah, semisal berbenturan dengan satelit milik salah satu negara (2016, jogja.tribunnews.com).

Semakin meningkatnya jumlah sampah antariksa yang mengorbit di lapisan terendah (Low Earth Orbit/LEO) antara 300 hingga 1.500 kilometer (km) di atas permukaan bumi membuat operasional satelit semakin mahal di masa depan. Ini membuat satelit-satelit dan stasiun ruang angkasa ada yang harus bermanuver 25 kali dalam setahun di ruang angkasa untuk menghindari bertabrakan dengan sampah antariksa (2016, ANTARA, m.tempo.co).

Objek-objek tersebut mengorbit bumi dan saling bertemu dengan kecepatan rata-ata 10km/detik (36.000km/jam). Jika mengalami tabrakan antara satu dengan lainnya, maka akan hancur menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil. Pada tahun 1960, jumlah satelit yang pecah hanya 1 satelit per tahun. Tetapi, sejak tahun 1980, sudah mencapai 5 satelit yang pecah per tahun (Alfiani, 2011, kompasiana.com).

Sangat mungkin sampah-sampah antariksa tersebut jatuh ke bumi. Kejadian tabrakan satelit milik Rusia dengan satelit Rusia lainnya yang sudah tidak aktif di 2009 terjadi di ketinggian 800 km dari permukaan bumi. Butuh waktu ratusan tahun untuk jatuh ke bumi, dan saat ini terus berputas mengelilingi bumi di angkasa. Tapi pada level ketinggian yang lebih rendah sampah-sampah ini dapat jatuh ke bumi hanya dalam hitungan minggu (2016, ANTARA, m.tempo.co).

Yang ironis adalah gara-gara update software, satelit dapat menjadi sampah antariksa. Update software kadang membawa masalah baru akibat bug yang belum terdeteksi. Entah perangkat jadi sering crash, lebih boros baterai, atau mengalami problem lain. Dan hal ini pernah terjadi pada Satelit Hitomi. Satelit buatan  Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) ini rusak karena update software. Update tersebut ternyata menimbulkan bug yang membuat sistem komputer satelit mengira wahana antariksa tersebut sedang berputar, walaupun sebenarnya dalam kondisi diam (Yusuf, 2016, tekno.kompas.com).

Sistem anti-putaran di satelit pun berjalan otomatis dengan mendorong ke arah berlawanan dari “putaran” yang sebenarnya tidak ada. Akibatnya satelit yang tadinya stasioner, malah berputar tidak terkendali. Putaran semakin lama semakin kencang, hingga kemudian bagian-bagian sensitif dari wahana antariksa itu, seperti panel surya, mulai copot. Hingga akhirnya, satelit berhenti berputar, dan kemudian tercerai-berai menjadi 6 hingga 10 bagian (Yusuf, 2016, tekno.kompas.com).

Julisar