School of Information Systems

Blueprint Pengembangan Data Warehouse

Setiap Arsitektur Data Warehouse adalah unik karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan bisnis User dalam area yang berbeda-beda. Sebagian besar organisasi sengaja ataupun tidak sengaja akan mengikuti salah satu dari beberapa methodology berikut ini sebagai Blueprint untuk pengembangan Data Warehouse.

  1. Top-Down Approach

Arsitektur ini biasa juga disebut dengan Hub-and-Spoke Architecture (The Corporate Information Factory). Awalnya dibangun sebuah Enterprise Data Warehouse. Data level atomic disimpan dalam 3th Normal Form dalam Enterprise Data Warehouse. Data akan di extract dari Source System dan di Load kedalam Data Warehouse pada level Granularity terendah (Data level atomic). Data akan di Load kedalam Data Warehouse lewat Persistent Staging Area.

Data dalam Data Warehouse kemudian akan dibuat Summary-nya, dibuat Dimensional dengan cara diteruskan kebeberapa Dependent Data Mart, Data Mart ini hanya menyimpan Data Summary yang disimpan dalam Star-Schema atau Snowflake-Schema. User bisa melakukan Query baik ke Data Warehouse maupun ke Data Mart. Bill Inmon menganjurkan dan mempromosikan arsitektur ini.

  1. Bottom-Up Approach

Arsitektur ini biasa juga disebut dengan The Data warehouse Bus Structure. Awalnya dibangun sebuah Dimensional Data Mart, belakangan bisa dikembangkan menjadi beberapa Data Mart sesuai dengan kebutuhan dan budget dari bisnis User. Data Mart mengandung baik Data atomic maupun Data Summary. Tidak ada model Normalized, semua Data Mart adalah Dimensional yang diorganisasikan dalam Star-Schema.

Data yang diload ke Data Mart lewat non-persistent Staging Area. Penggunaan Conform Dimension adalah Mandatory, dengan menggunakan Bus Architecture maka semua Data Mart bisa saling terintegrasi secara logika sehingga dapat memberikan pandangan Enterprise akan Data. Ralph Kimball menganjurkan dan mempromosikan arsitekturini.

Dalam perkembangannya saat ini ada dua pendekatan lain dalam membangun Data Warehouse seperti dijelaskan dibawah ini:

  1. Hybrid approach

Methodology ini dikembangkan untuk menghindari kekacauan Data Mart pada methodology yang ada sebelumnya. Dimulai dengan membuat Enterprise Data Model. Ketika ditambahkan Data Mart, Data Model pada Data Warehouse diperluas dengan teknik incremental Enterprise Data Model. Setelah Data Mart pertama selesai dibangun, dapat dilanjutkan dengan membangun beberapa Data Mart berikutnya sesuai dengan kebutuhan Business User.

Data yang di load kedalam dimensional Data Mart lewat non-persistent Staging Area.Data Mart bersifat Dependent, namun ketergatungannya hanya berdasarkan turunanLokal Meta Data dari pusat Meta Data bukan tergantung pada Data dari Data Warehouse. Aplikasi Data Warehouse berdasarkan arsitektur “hub-and-spoke”, namun dengan hub dari ETL Tool bukan hub dari Data Warehouse. Pieter Mimno, Myers & Holum yang menganjurkan dan mempromosikan arsitektur ini.

  1. Federated approach

Methodology ini sebenarnya bukan arsiktektur namun lebih sebagai suatu Theory yang membolehkan untuk mengintegrasikan asset Data agar dapat memuhi kebutuhan dan untuk merespon kondisi yang dinamis. Menyatukan data dari berbagai sumber, termasuk dari Data Mart atau Data Warehouse yang lain. Memang bukan methodology yang elegan namun adakalanya sangat berguna dan sesuai dengan banyak kebutuhan.

Methodologi ini biasanya dianjurkan pada perusahaan yang sudah mempunyai lingkungan Decision Support yang komplek namun tidak ada keinginan untuk membangun ulang. Doug Hackney &Eckerson. Yang menganjurkan dan mempromosikan arsitektur ini.

Pada akhirnya setiap arsitektur masing-masing mempunyai Pros dan Cons sendiri-sendiri. Untuk memilih arsitektur yang paling tepat juga perlu dipertimbangkan dari sisi Business Requirement, Existing Infrastructure, Time frame dan Budget yang tersedia. Tentu diperlukan seorang Consultant yang berpengalaman agar dalam pembagunan Data Warehouse bisa Cost Efektif dan tepat guna.

Sumber :https://yoyonb.wordpress.com/

Evaristus Didik