Swipe = Izin? Yuk Pahami Bahaya Salah Tafsir di Aplikasi Dating

Pernah nggak sih kamu pakai aplikasi dating seperti Tinder, Bumble, atau OkCupid? Di balik swipe kanan dan chatting yang kelihatannya fun, ternyata ada fenomena psikologis serius yang sedang terjadi—dan bisa berdampak buruk kalau nggak dipahami dengan baik.
Penelitian terbaru oleh Smith dkk. (2025) menunjukkan bahwa semakin sering seseorang menggunakan dating app, semakin besar kemungkinan mereka melakukan seksualisasi berlebihan terhadap orang lain. Bahkan, banyak pengguna muda cenderung menganggap match atau saling kirim DM itu sudah cukup sebagai “kode” untuk hubungan seksual.
Padahal, kenyataannya nggak sesederhana itu.
“Digital Consent Cues”: Asumsi Bahaya dari Dunia Virtual
Dalam studi yang melibatkan lebih dari 1.000 anak muda usia 18–35 tahun di AS, ditemukan bahwa pengguna aktif dating app cenderung menyamakan interaksi online—seperti swipe kanan atau chatting—dengan bentuk persetujuan seksual. Istilahnya disebut digital consent cues.
Bayangkan, cuma karena saling suka di aplikasi, ada yang langsung merasa “berhak” melanjutkan ke hubungan fisik. Hal ini bisa membuat komunikasi tentang persetujuan (consent) menjadi kabur dan memicu risiko pelecehan atau kekerasan seksual, apalagi saat pertemuan berlanjut ke dunia nyata.
Objektifikasi Seksual: Ketika Orang Dianggap Objek
Penelitian ini juga menyoroti soal objektifikasi seksual—yakni melihat orang lain bukan sebagai manusia utuh, tapi sebagai objek seksual berdasarkan tampilan profilnya. Foto seksi atau caption menggoda sering diartikan sebagai “undangan,” padahal belum tentu itu maksudnya.
Parahnya lagi, laki-laki ditemukan lebih sering menganggap interaksi di aplikasi sebagai sinyal persetujuan, dibanding perempuan. Ini menandakan adanya kesenjangan pemahaman soal consent antara gender.
Apa Relevansinya dengan Mahasiswa Business IT?
Sebagai mahasiswa Business Information Technology, kita mempelajari bagaimana teknologi dirancang dan digunakan. Studi ini mengingatkan bahwa fitur teknologi juga bisa memengaruhi perilaku sosial dan persepsi.
Bayangkan kalau kamu jadi bagian dari tim pengembang aplikasi dating. Apakah kamu akan:
- Menambahkan fitur edukasi soal consent?
- Membuat notifikasi pengingat etika interaksi?
- Mendesain UX yang tidak memicu objektifikasi?
Atau bahkan, bagaimana kamu bisa menggunakan data perilaku pengguna secara etis untuk mendeteksi dan mencegah pola interaksi yang berisiko?
Desain Teknologi Harus Peka terhadap Etika Sosial
Studi ini memberi pelajaran besar bahwa “teknologi tidak pernah netral.” Fitur seperti swiping, auto-match, atau algoritma rekomendasi bukan hanya mempermudah, tapi juga membentuk cara orang berpikir dan bertindak.
Artinya, sebagai desainer teknologi masa depan, kita nggak bisa cuma fokus ke engagement atau retention rate. Kita juga perlu mikir: apakah teknologi yang kita buat mendorong interaksi yang sehat, adil, dan aman?
Kesimpulan: Swipe Bisa Jadi Salah Tafsir
Menggunakan aplikasi dating itu bukan hal yang salah. Tapi kalau pengguna dan pembuat aplikasinya nggak paham soal dampak psikologis dan sosialnya, bisa muncul salah tafsir yang serius. Seperti anggapan bahwa “kalau sudah match, berarti sudah siap”—padahal consent itu harus eksplisit dan terus-menerus.
Yuk, sebagai generasi digital, kita belajar untuk jadi pengguna yang bijak dan pengembang yang etis.