Sedih, Stres, Langsung Checkout: Gimana Emosi Negatif Bisa Picu Belanja Online?

Source: https://images.app.goo.gl/CLT9wGG81FfpGpp19
Pernah nggak sih kamu lagi sedih, overthinking, atau habis marah, terus tanpa sadar malah scroll media sosial lebih lama dari biasanya? Nggak berhenti di situ, ujung-ujungnya kamu malah beli sesuatu yang sebenernya nggak kamu butuhin. Ternyata, kamu nggak sendirian. Dan ini bukan cuma “healing” ala Gen Z—tapi fenomena yang serius diteliti.
Penelitian terbaru oleh Khare et al. (2025) membahas bagaimana emosi negatif seperti sedih, cemas, atau kesepian justru membuat anak muda makin terlibat aktif dengan postingan influencer, bahkan mendorong mereka untuk membeli produk yang dipromosikan. Ini jadi pembahasan penting di era social media marketing, khususnya buat kita mahasiswa Business IT yang bakal terjun ke dunia digital branding dan e-commerce.
Scroll Saat Sedih = Risiko Impulsif?
Dalam studi ini, para peneliti meneliti lebih dari 300 anak muda yang sedang mengalami emosi negatif. Hasilnya mengejutkan: saat merasa emosional, mereka justru lebih tertarik dan aktif berinteraksi dengan postingan influencer—terutama postingan yang membawa aura positif dan menyenangkan.
Jadi, saat kamu lagi down dan lihat konten influencer yang happy, estetik, dan penuh kata-kata motivasi, kamu jadi lebih mudah “terbawa suasana”. Algoritma pun mendukung itu: konten serupa akan terus muncul di feed kamu, menciptakan semacam lingkaran setan—emosi negatif → konten positif → interaksi tinggi → dorongan untuk beli produk.
Emosi = Mesin Penggerak Engagement
Emosi ternyata adalah kunci engagement. Postingan dari influencer yang dikemas secara emosional—baik positif maupun negatif—mampu membangun koneksi psikologis yang kuat dengan audiens. Ini menjelaskan kenapa banyak influencer sekarang bukan cuma pamer produk, tapi juga curhat, bercerita soal mental health, atau sharing perjuangan hidup.
Menurut Khare et al. (2025), engagement tertinggi terjadi ketika influencer tampil autentik dan menyampaikan cerita yang bisa “menyembuhkan” perasaan audiens yang sedang terpuruk.
Apa Hubungannya dengan Business IT?
Sebagai mahasiswa Business Information Technology, kita belajar bagaimana membuat sistem yang bisa memahami perilaku pengguna. Nah, perilaku digital tidak bisa lepas dari kondisi psikologis penggunanya.
Data engagement bukan sekadar angka likes atau comments. Di baliknya, ada dinamika emosional yang bisa dimanfaatkan—atau disalahgunakan. Di sinilah pentingnya memahami UX berbasis emosi, sentiment analysis, dan algoritma rekomendasi yang etis.
Kalau kamu nanti bikin platform e-commerce atau social commerce, bayangkan bagaimana fitur yang kamu desain bisa memicu keputusan impulsif. Apakah kamu akan membiarkan pengguna yang sedang sedih terus ditawari diskon atau “produk penghibur”? Atau justru membuat sistem yang bisa mengenali tanda-tanda emosional dan memberikan pengalaman yang lebih suportif?
Tanggung Jawab Etika Digital
Studi ini menyuarakan hal yang penting: anak muda sangat rentan terhadap promosi yang menyasar kondisi emosional mereka. Influencer tahu ini, brand tahu ini, dan platform pun “tahu”—lewat algoritma mereka.
Di sinilah kita, sebagai generasi baru di bidang teknologi dan bisnis digital, perlu membangun pendekatan yang lebih bijak. Jangan hanya fokus pada “engagement tinggi”, tapi pikirkan juga kesehatan mental pengguna.
Penutup: Saatnya Jadi Konsumen (dan Developer) yang Lebih Sadar
Scroll media sosial bisa jadi bentuk pelarian. Tapi kalau tidak disadari, itu bisa berubah jadi belanja impulsif, dan bahkan membentuk kebiasaan yang merugikan.
Sebagai mahasiswa BIT, yuk mulai belajar memahami sisi emosional dari digital behavior. Karena masa depan bukan cuma soal teknologi yang makin canggih, tapi juga soal bagaimana kita menggunakannya dengan empati dan tanggung jawab.