INDUSTRI 4.0: KITA SIAP… KATANYA

Catatan: Gambar ini digenerasi oleh ChatGPT dengan pengawasan dan supervisi manusia

 

Bayangkan sebuah pabrik yang sepenuhnya otomatis—robot merakit, sensor memantau, dan AI memutuskan. Sekarang bayangkan hal itu terjadi… di panggung seminar nasional. Ya, itulah wajah Industri 4.0 di Indonesia: ambisi besar, realisasi terbatas. Pemerintah telah meluncurkan inisiatif Making Indonesia 4.0 sejak 2018, dengan visi menjadikan Indonesia sebagai 10 besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030.

Namun di lapangan, sebagian besar pelaku industri masih sibuk dengan hal-hal esensial: listrik yang belum stabil, SDM yang belum terlatih secara digital, dan jaringan internet yang sering “menghilang” seperti harapan peserta CPNS. Banyak pelaku UMKM yang mendengar kata “sensor” justru mengira itu bagian dari alat pengintai, bukan teknologi manufaktur.

Realitanya, mayoritas sektor industri kita baru menyentuh tahap digitalisasi paling dasar. Bukan otomasi robotik, bukan AI prediktif. Dan jangan lupakan jargon favorit para pembicara forum teknologi: “Kita harus menyambut revolusi ini dengan kesiapan maksimal!”—padahal sebagian masih mengetik laporan keuangan di Excel 2007.

 

IOT: INTERNETNYA ADA, ‘THING’-NYA MASIH NGANGGUR

IoT, atau Internet of Things, terdengar keren—semua benda bisa bicara, memberi data, dan merespons lingkungan. Tapi di Indonesia, seringkali yang terjadi adalah: internetnya ada, tapi “thing”-nya belum terkoneksi, atau malah rusak karena kelembaban.

Beberapa kota memang telah mengembangkan sistem smart city. Misalnya, sensor untuk memantau air banjir, CCTV yang mendeteksi kemacetan, atau tempat sampah pintar yang bisa memberi notifikasi. Tapi, banyak juga proyek semacam ini yang hanya bertahan sampai berita launching, lalu mati suri karena tidak ada tim pemeliharaan atau datanya tidak dipakai.

Petani di desa mungkin masih menyiram sawah berdasarkan perasaan, bukan dari notifikasi sensor kelembaban tanah. Di sektor industri, IoT kadang dipakai sekadar untuk “pajangan demo” agar tampak modern, bukan sebagai sistem yang diintegrasikan ke operasional.

Tantangan utama IoT di Indonesia:

  • Infrastruktur jaringan belum merata (apalagi 5G—4G saja masih “bolong-bolong”)
  • Biaya perangkat sensor yang masih tinggi untuk pelaku UMKM
  • Kurangnya tenaga ahli yang bisa mengelola dan memelihara sistem

IoT bukan sekadar beli sensor dan pasang dashboard, tapi soal menyusun ekosistem: hardware, software, SDM, dan kebiasaan kerja. Dan kita belum sampai sana—at least not yet.

 

BIG DATA ANALYTICS: KETIKA DATA BERGUNUNG, KESIMPULAN MASIH DARI WHATSAPP GROUP

Indonesia punya 204 juta pengguna internet. Bayangkan berapa banyak data yang dihasilkan setiap hari—mulai dari belanja online, likes di TikTok, komentar netizen, hingga transaksi keuangan. Tapi anehnya, banyak keputusan publik dan bisnis masih mengandalkan “feeling”, bukan data.

Big Data Analytics seharusnya bisa membantu memetakan tren, memprediksi kebutuhan masyarakat, hingga menganalisis efektivitas kebijakan. Tapi dalam praktiknya, “analisis” masih sering berarti menyalin angka dari Excel, lalu menebak pola dari garis yang naik-turun.

Masalah yang sering terjadi:

  • Data ada, tapi tidak bersih (data quality issue)
  • Tim analis kekurangan kapasitas teknikal (statistik lanjutan masih dianggap “ilmu hitam”)
  • Data dikumpulkan, tapi tidak dipakai (alias jadi “data mati”)

Beberapa perusahaan sudah mulai menerapkan AI dan analytics untuk customer segmentationfraud detection, dan demand forecasting. Tapi di sektor pemerintahan atau daerah, dashboard canggih kadang hanya jadi wallpaper digital tanpa keterlibatan pengguna.

Saran bagi Gen-Z: jangan cuma bangga jadi “digital native”—mulailah belajar membaca data, bukan hanya membacakan opini.

 

BLOCKCHAIN: TEKNOLOGI YANG SERING DIUNDANG, TAPI JARANG DIPAKAI

Blockchain punya potensi besar. Teknologi ini bisa menciptakan sistem pencatatan yang tidak bisa dimanipulasi, sangat cocok untuk pemilu, rantai pasok, dan keuangan publik. Tapi di Indonesia, blockchain lebih sering disebut di webinar daripada benar-benar digunakan di workflow.

Banyak instansi atau startup yang ngebut ingin menerapkan blockchain, tapi:

  • Tidak punya masalah yang benar-benar perlu blockchain
  • Tidak ada tim teknis yang bisa mengelola smart contract
  • Tidak ada sistem hukum yang siap mengakomodasi model baru ini

Beberapa proyek pilot menjanjikan:

  • Blockchain untuk sertifikasi halal
  • Blockchain untuk pelacakan hasil bumi
  • Blockchain untuk pencatatan emisi karbon

Namun, banyak dari itu belum keluar dari tahap eksperimen. Teknologi ini memang powerful, tapi bukan obat segala masalah. Memaksa semua solusi pakai blockchain sama seperti mengobati flu dengan operasi jantung.

 

KESIMPULAN: TEKNOLOGI ITU BUKAN SEMATA CANGGIH, TAPI COCOK DAN BISA DIPAKAI

Selama lima tahun terakhir, Indonesia telah banyak bergerak:

  • Pemerintah mendorong digitalisasi layanan publik
  • Dunia usaha mulai mengadopsi AI dan IoT
  • Generasi muda menunjukkan antusiasme tinggi pada startup teknologi

Tapi perlu disadari: membangun ekosistem teknologi bukan hanya soal beli alat, tetapi juga:

  • Membangun pola pikir berbasis data
  • Mengembangkan regulasi dan kebijakan yang adaptif
  • Menyiapkan talenta digital secara merata

Teknologi yang berhasil bukan yang paling kompleks, tapi yang paling fit dengan kebutuhan dan bisa diterapkan secara berkelanjutan.

 

REKOMENDASI REALISTIS UNTUK GENERASI MUDA & PEMANGKU KEBIJAKAN

  1. Fokus pada Use Case Nyata
    Daripada mengejar kata-kata seperti “AI” dan “blockchain” hanya untuk tampil keren, fokuslah pada solusi nyata seperti efisiensi distribusi beras, sistem pengairan pintar, atau logistik pendidikan.
  2. Prioritaskan Akses dan Literasi Digital
    Tak perlu 5G kalau sinyal 4G saja belum stabil di desa. Prioritaskan perluasan jaringan dan pelatihan digital untuk semua kalangan, bukan hanya urban.
  3. Dorong Riset Terapan dan Kolaboratif
    Kampus jangan cuma bikin prototipe, tapi juga proof-of-concept yang diuji di lapangan, lewat kerja sama dengan industri dan pemerintah.
  4. Perkuat Peran Komunitas Teknologi Lokal
    Komunitas developer, makerspace, dan inovator lokal perlu dukungan agar bisa berkontribusi langsung, bukan hanya jadi penonton transformasi digital.

 

 

REFERENSI:
  1. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Making Indonesia 4.0: Strategi Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0. https://www.kemenperin.go.id/download/19347
  2. Kontan.co.id. Ekosistem Meningkat, Pasar Internet of Things (IoT) di Indonesia Terus Bertumbuh. https://industri.kontan.co.id/news/ekosistem-meningkat-pasar-internet-of-things-iot-di-indonesia-terus-bertumbuh
  3. CloudComputing.id. Pasar Big Data di Indonesia Masih Terus Berkembang. https://www.cloudcomputing.id/berita/big-data-di-indonesia